Selasa 06 Sep 2016 20:00 WIB

Pesan Spiritual Arafah

 Jamaah haji di Padang Arafah
Foto: EPA / AMEL PAIN
Jamaah haji di Padang Arafah

Oleh: Ahmad Agus Fitriawan

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Situs paling pokok dari rangkaian ritus-ritus Haji adalah wukuf di Padang Arafah. Wukuf di Arafah dilihat dari konteks rukun haji merupakan rangkaian kegiatan yang tidak boleh ditinggalkan dalam situasi dan kondisi sakit seperti apa pun. Karena itu, untuk mereka yang sakit parah sekalipun dilakukan safari wukuf. Sebagaimana Rasul SAW bersabda, "Al-hajju 'arafah", Haji itu Arafah.

Kata Arafah secara bahasa berasal dari kata 'arafa yang berarti mengenal, mengenali, atau mengetahui. Arafah dapat dipahami sebagai momen mengenal jati diri masing-masing, mengenal dari mana ia berasal dan hendak ke mana ia kembali. 

Pengenalan terhadap jati diri manusia sangat penting agar sisa-sisa perjalanan hidup yang tidak gratis, melainkan harus dipertanggungjawabkan ini, dapat terkontrol. Tanpa pengenalan jati diri, seseorang sering kali menjadikan dirinya manusia yang sombong dan egois dengan penemuan jalan hidupnya. 

Perjalanan haji menuju Arafah menandai perjalanan untuk mencairkan kebekuan hati, karena di Arafah semua jamaah haji menjadi orang terbuka atas dosa-dosa yang selama ini disembunyikan. Di hadapan Allah SWT, setiap jamaah haji harus jujur bermohon agar semua peristiwa masa lalu terkubur dan membuka lembaran kehidupan baru, lembaran ketakwaan. Itulah makna perenungan wukuf haji di Padang Arafah. 

Latihan mengenal jati diri lewat media wukuf di Arafah harus bisa mengantarkan jamaah haji kepada perubahan sikap dan perilaku, setiap saat mengenai makna hidup. Melalui momentum perenungan walau sejenak secara akseleratif seluruh perjalanan hidup dapat terbaca, yang baikkah atau yang burukkah.

Sering kali manusia sulit mengajak hati untuk mampu berdialog dengan diri, karena tertutupi hawa nafsu dan kemauan nafsu syaithaniyah. Namun, semua orang saat wukuf di Arafah kebekuan hawa nafsu itu bisa mencair dengan mudah karena rahmat Allah SWT.

Cobalah sesekali kita merenungkan profesi kita, merenungkan sikap kita terhadap bawahan, merenungkan sikap kita terhadap hak-hak orang lain, terutama kaum lemah. Benarkah kita telah menjadi pelayan masyarakat yang baik, atau kita hanya bekerja mencari upah, bahkan memeras darah orang-orang lemah. Betapa banyak hak orang lain terabaikan, betapa banyak hak rakyat tersembunyikan.

Perenungan seperti di atas, sangat penting untuk mengukur kembali apakah benar kita telah melaksanakan wukuf di Arafah. Apakah kita benar telah melepaskan pakaian berjahit dengan pakaian ihram, simbol ditinggalkannya segala sesuatu yang diharamkan Allah SWT.

Sejarah kehidupan manusia sejak dahulu membuktikan bahwa orang-orang yang memiliki kekuasaan, kekayaan, dan pengaruh di masyarakat tidak mudah tersentuh oleh hukum dan keadilan. Mereka sering kali karena kerapuhan imannya berbuat sewenang-wenang, tamak (serakah), mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, dan meremahkan keluhuran budi. Sifat-sifat tersebut, sering kali membuat hati menjadi keras dan kering, bila sesekali tidak dicuci dalam wadah perenungan wukuf di Arafah. 

Inilah pentingnya peristiwa Arafah, dengan ibadah wukuf sebagai rukun haji yang tidak boleh tidak harus dilakukan oleh mereka yang ingin menyempurnakan keislamannya. Wallahu a'lam bisshawab.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement