Jumat 02 Sep 2016 10:26 WIB

Memahami Moderasi dalam Islam

Umat Muslim menjalankan shalat (ilustrasi).
Foto: dokrep
Umat Muslim menjalankan shalat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dudung Abdul Rohman*)

Moderasi adalah jalan pertengahan, dan ini sesuai dengan inti ajaran Islam yang sesuai dengan fitrah manusia. Oleh karena itu, umat Islam disebut ummatan washathan, umat yang serasi dan seimbang, karena mampu memadukan dua kutub agama terdahulu, yaitu Yahudi yang terlalu membumi dan Nashrani yang terlalu melangit.

Hal ini terbukti dengan adanya perpindahan arah kiblat yang asalnya menghadap Masjidil Aqsha yang ada di Palestina berpindah menjadi menghadap Masjidil Haram yang ada di Makkah. Ini membuktikan kemandirian dan kemurnian ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang tidak terpengaruh oleh agama terdahulu yang mengagungkan Masjidil Aqsha. Dengan tegas hal ini diungkapkan oleh Alquran dalam surat al-Baqarah [2] ayat 143: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”.

Dengan demikian, moderasi sama pengertiannya dengan al-washatiyyah – sebagaimana diungkapkan dalam ayat di atas. Menurut Ibnu Faris, sebagaimana dikutip oleh Muchlis M. Hanafi (2009), bahwa al-washatiyyah berasal dari kata wasath yang memiliki makna adil, baik, tengah dan seimbang. Bagian tengah dari kedua ujung sesuatu dalam bahasa Arab disebut wasath. Kata ini mengandung makna baik seperti dalam ungkapan hadis, ‘Sebaik-baik urusan adalah awsathuha (yang pertengahan)’, karena yang berada di tengah akan terlindungi dari  cela atau aib (cacat) yang biasanya mengenai bagian ujung atau pinggir.

Selanjutnya  M. Hanafi (2009) mengutip pendapat pakar tafsir Abu Su’ud, bahwa kata wasath pada mulanya menunjuk pada sesuatu yang menjadi titik temu semua sisi seperti pusat lingkaran (tengah). Kemudian berkembang maknanya menjadi sifat-sifat terpuji yang dimiliki manusia karena sifat-sifa tersebut merupakan tengah dari sifat-sifat tercela. Seperti sifat dermawan adalah pertengah antara kikir dan boros, berani pertengahan antara takut dan sembrono.

Maka sejalan dengan ajaran Islam yang universal dan bercorak seimbang, maka al-wasathiyyah didefinisikan sebagai sebuah metode berpikir, berinteraksi dan berperilaku yang didasari atas sikap tawazun (seimbang) dalam menyikapi dua keadaan perilaku yang dimungkinkan untuk dibandingkan dan dianalisis, sehingga dapat ditemukan sikap yang sesuai dengan kondisi dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama dan tradisi masyarakat.

Menurut Yusuf Qardhawi (1995), bahwa di antara karakteristik ajaran Islam adalah al-washatiyyah (moderat) atau tawazun (keseimbangan), yakni keseimbangan di antara dua jalan atau dua arah yang saling berhadapan atau bertentangan. Contoh dua arah yang bertentangan seperti spiritualisme dengan materialisme, individu dengan kolektif, konstektual dengan idealisme, dan konsisten dengan perubahan. Prinsip keseimbangan ini sejalan dengan fitrah penciptaan manusia dan alam yang harmonis dan serasi. Sebagaimana diungkapkan dalam Alquran, “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia telah meletakkan mizan (keadilan), supaya kamu tidak melampaui batas tentang mizan itu” (QS. Ar-Rahman [55]:7-8).

Moderasi Islam ini tercermin dalam seluruh ajarannya. Misalnya dalam bidang Akidah, ajaran Islam sesuai dengan fitrah kemanusiaan, berada di tengah antara mereka yang tunduk pada khurafat dan mitos, dan mereka yang mengingkari segala sesuatu yang berwujud metafisik. Selain mengajak beriman kepada yang ghaib, Islam pun mengajak akal manusia untuk membuktikan ajarannya secara rasional. Dalam bidang ibadah, Islam mewajibkan penganutnya untuk melakukan ibadah dalam bentuk dan jumlah yang sangat terbatas, misalnya shalat lima kali dalam sehari, puasa sebulan dalam setahun, dan haji sekali dalam seumur hidup; selebihnya Allah mempersilakan manusia untuk berkarya dan bekerja mencari rezeki Allah di muka bumi.

Kemudian dalam bidang akhlak, ajaran Islam mengakui dan memfasilitasi adanya unsur jasad dan ruh pada diri manusia. Dengan adanya unsur jasad manusia didorong untuk selalu menikmati kesenangan dan keindahan yang dikeluarkan oleh bumi, sementara unsur ruh mendorongnya untuk menggapai petujuk langit. Sehingga dengan konsep ini, kehidupan dunia bukanlah penjara tempat manusia disiksa, tapi sebuah nikmat yang harus disyukuri dan sebagai ladang untuk mencapai kehidupan yang lebih kekal di akhirat.

Dalam Alquran ditegaskan, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagian) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS. Al-Qashash [28]:77).

Selanjutnya mengenai ciri moderasi Islam, sebagaimana dikemukakan Tarmizi Taher (2007) memiliki dua ciri yang mandiri, yaitu pertama, adanya hak kebebasan yang harus selalu diimbangi dengan kewajiban. Kecerdasan dalam menyeimbangkan antara hak dan kewajiban akan sangat menentukan terwujudnya keseimbangan dalam Islam.

Kedua, adanya keseimbangan antara kehidupan dunawi dan ukhrawi, serta material dan spiritual. Sehingga peradaban dan kemajuan yang dicapai oleh umat Islam tidak semu dan fatamorgana, tetapi hakiki dan benar-benar sesuai dengan yang diharapkan, yakni mewujudkan kebaikan di dunia dan di akhirat serta dijauhkan dari malapetaka dan siksaan neraka. Hal ini sejalan dengan doa sapujagat yang selalu dipanjatkan, “Ya Allah Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia, dan kebaikan di akhirat, serta jauhkanlah kami dari siksa api neraka”. Wallahu A’lam Bish-Shawaab.

*Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Bandung)

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement