REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerakan filantropi berbasis keagamaan di Indonesia terus berkembang, khususnya setelah Reformasi. Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (LPPM UMY) dr Hilman Latief menjelaskan, dalam sepuluh tahun terakhir, gerakan filantropi keagamaan tersebut lahir, baik berlatar belakang sosial hingga terhubung secara transnasional.
Dia mencontohkan, ada beberapa lembaga yang berkiprah di ranah zakat, infak, dan sedekah, baik dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, hingga yang berawal dari gerakan media massa, seperti Dompet Dhuafa. Tak hanya itu, kata dia, geliat lembaga-lembaga filantropi lokal pun tak bisa diremehkan. "Hal ini tentu positif karena sedikit banyak dari mereka berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan,"kata Hilman di Universitas Oxford, Inggris, Ahad (3/7).
Hilman diundang hadir untuk menjadi pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan di Oxford Centre for Islamic Studies, Universitas Oxford. Diskusi ini berlangsung hangat dihadiri beberapa peneliti di Oxford Centre of Islamic Studies dan warga Indonesia di sekitar Oxford dan Reading.
Acara ini merupakan gelaran Muhammadiyah International Forum keempat yang diinisiasi PCI Muhammadiyah UK pada 2016. Acara sebelumnya digelar di Birmingham, London, dan Leeds. Seri forum ini telah menghadirkan beberapa akademisi dan tokoh masyarakat di UK, seperti Rianne Tenveen (IFEES), Professor Jonathan Benthall (Royal Anthropological Institute), dan Dr Adam Tyson (University of Leeds).
"Kami berharap, acara semacam ini mampu menjadi wadah komunikasi masyarakat Indonesia dan Inggris sebagai perwujudan dakwah keilmuan yang dibawa PCI Muhammadiyah UK," ujar Ahmad Rizky M Umar, Wakil Ketua PCI Muhammadiyah UK, di sela-sela forum.
Tumbuhnya lembaga-lembaga tersebut juga diikuti berkembangnya wacana dan aksi kemanusiaan dalam berbagai momentum. Sebagai contoh, Hilman menjelaskan, setelah gempa dan tsunami di Aceh, organisasi keagamaan beramai-ramai mengirim relawan dan menghimpun dana untuk membantu korban bencana.
Alumnus Utrecht University, Belanda, itu menjelaskan, gerakan itu kemudian berkembang sampai sekarang. Salah satunya, Muhammadiyah yang mengirim relawan untuk membantu korban bencana di Nepal melalui Muhammadiyah Disaster Management Centre (MDMC). Menurut Hilman, perkembangan ini menunjukkan bahwa Islam juga punya kontribusi sosial dan kemanusiaan, tidak hanya terbatas di wilayah ritual.
Sejak 1990-an, dia menjelaskan, ada perkembangan menarik dalam wacana intelektual Islam di Indonesia. Dari hanya berkutat di wilayah ibadah vertikal, kini menyentuh ranah sosial dan kebudayaan. "Transformasi ini memberi ruang untuk lahirnya gerakan-gerakan filantropi dan kemanusiaan tersebut," ujar Hilman yang diundang berdakwah selama Ramadhan.
Namun demikian, menurut Hilman, perkembangan itu juga perlu diikuti dengan daya kritis di wilayah-wilayah struktural, seperti kemiskinan atau problem agraria. Walaupun filantropi penting, dia menjelaskan, ada banyak masalah sosial yang tidak cukup hanya diselesaikan melalui gerakan sosial, tetapi juga perlu peran negara. Ini sebabnya, gerakan filantropi keagamaan juga perlu menyentuh wilayah advokasi kebijakan publik.
Banyaknya gerakan filantropi itu juga belum mampu memaksimalkan potensi zakat umat Islam di Indonesia. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, Indonesia memiliki potensi zakat amat besar. Berdasarkan penelitian Badan Zakat Nasional (Baznas) dan Institut Pertanian Bogor (IPB), potensi zakat nasional pada 2015 mencapai Rp 286 triliun. Hanya, realisasi penghimpunan zakat di Indonesia nyatanya masih rendah.
Baznas mencatat, dana zakat, infak, dan sedekah yang dihimpun lembaga amil milik pemerintah maupun swasta secara nasional pada 2015 hanya menyentuh angka Rp 3,7 triliun atau hanya 1,3 persen dari potensinya. "Artinya, dibutuhkan usaha sistematis dan ekstra keras untuk memaksimalkan potensi yang begitu besar," ucap Ketua Baznas Bambang Sudibyo di Istana Negara, Kamis (30/6)