Ahad 10 Jul 2016 08:52 WIB

Terorisme Musuh Bersama

Shamsi Ali
Shamsi Ali

Oleh:  Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation

 

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Kita baru saja merayakan Idul Fitri tahun ini. Sebuah perayaan yang dibayang-bayangi oleh kegembiraan, kebahagiaan, kepuasan. Tapi juga dibayang-bayangi oleh kecemasan, kesedihan, dan bahkan kemarahan. 

Betapa tidak, dalam beberapa hari terakhir ini, termasuk di bulan Ramadan ini, berbagai peristiwa yang menyayat hati terjadi di berbagai belahan dunia. Serangan teror di berbagai kota dunia telah menelan banyak nyawa manusia. Dari Orlando, Turki, Baghdad, Bangladesh, hingga ke kota suci Rasulullah SAW Madinah Al-Munawwarah. Semua itu menyedihkan bahkan menyakitkan karena nyawa manusia nampak begitu murah. 

Yang lebih menyakitkan adalah ketika tindakan brutal dan setanik ini dipaksakan untuk dikaitkan dengan Islam, baik oleh pelaku maupun mereka yang berada di seberang lain. Mereka yang mengaku anti teror tapi melakukan teror kepada komunitas Muslim ke seluruh dunia. Bagaimana tidak. Ketika umat ini dibayang-bayangi oleh tuduhan dan kecurigaan seolah umat ini adalah umat yang anti kemanusiaan dan peradaban. Sehingga keberadaannya di mana saja perlu dicurigai dan diawasi. 

Tidak beragama dan tidak bertuhan

Sunggu ironis memang. Sebagian orang masih berusaha, walaupun usaha itu nampak sangat tidak logis, untuk mengaitkan antara agama dan terorisme. Ini dilakukan bersamaan antara pelaku teroris atas nama agama dan mereka yang kemudian memiliki tendensi kebencian kepada agama yang diakui oleh pelaku teror. 

Barangkali memang sudah masanya bagi semua manusia, khususnya umat ini, untuk berteriak lantang bahwa terorisme tidak saja bertentangan dengan agama. Terorisme bahkan tidak beragama dan bahkan musuh agama-agama semuanya. 

Terorisme tidak memiliki kaitan dan ikatan dengan Tuhan. Justeru tidak bertuhan dan anti Tuhan.

Hanya dengan kesadaran demikian akan menjadikan para teroris kehilangan harapan. Mereka akan terisolasi dan tidak mendapat tempat dalam kemanusiaan dan peradaban. Dengan demikian mereka akan terkucilkan dan tidak mendapat perhatian, yang justeru terkadang menjadi motivasi bagi mereka. 

Anti Tuhan

Terorisme sesunggunya anti Tuhan. Tuhan yang diyakini sebagai Tuhan yang kebaikan dan kebajikan. Tuhan yang pada diriNya melekat kesucian. Tuhan yang mengedepankan "rahmah" dan "cinta" kepada hamba-hambaNya. Tuhan yang mencintai bahkan pendosa yang taubat, lebih dari kecintaan seorang anak yanh disusuinya. 

Bahkan jika kita mengambil sifat Keadilan Tuhan, terorisme jelas anti keadilan Tuhan. Bagaimana mereka mewakili keadilan Tuhan di saat menzalimi hamba-hambaNya yang tidak berdosa? Apa kesalahan para wanita, anak-anak, dan mereka yang tidak punya kepentingan kecuali mencari nafkah bagi keluarga? 

Semua ini menjadi kesimpulan bahwa pengakuan teroris sebagai wakil Tuhan dalam melakukan aksinya adalah kebohongan besar. Mereka tidak saja tidak bertuhan. Tapi mereka adalah anti dalam segala hal yang terkait dengan Tuhan. 

Anti agama

Terorisme juga tidak saja bertentangan dengan agama. Tapi tidak beragama dan anti / musuh agama. Kita yakini agama adalah dasar pijakan dalam membangun kebaikan dan kebajikan. Agama adalah petunjuk hidup untuk membangun kehidupan yang bermakna dan kebahagiaan. Agama adalah membangun peradaban. 

Sementara terorisme adalah antithesis dari semua nilai yang dijunjung tinggi oleh agama. Kejahatan, keburukan, pengrusakan kepada kehidupan dan peradaban. Terorisme membawa kepada kehancuran hidup dan peradaban. 

Masihkah logis jika agama dipaksakan untuk dikaitkan dengan terorisme? Orang yang berusaha mengaitkan terorisme dengan agama hanya orang yang sedang mengalami "distorted thinking" (pemikiran nyeleneh). 

Anti Rasul 

Terorisme juga tidak saja bertentangan dengan ajaran dan nilai moralitas ajaran rasul. Bahkan tidak punya dan musuhnya para rasul. 

Rasul Allah itu tidak saja membawa risalah "kasih sayang". Bahkan dianya yang menjadi representasi kasih sayang itu. "Dan tidaklah Kami utus kamu kecuali sebagai rahmat bagi sekalian manusia", titah Allah sendiri. 

Artinya pada semua sisi rasul itu, dari kepala ke kakinya, dalam dan luar, merupakan representasi "kasih sayang" itu. 

Beliaulah yang marah kepada sahabat ketika melihat seorang wanita terbunuh di medan perang. Beliau pula yang marab kepada sahabatnya ketika membunuh seorang musuh yang telah berserah diri. Bahkan beliau yang mengancam seorang wanita dengan neraka di saat membiarkan seekor kucing mati kelaparan. Sebaliknya menjanjikan syurga kepada seorang wanita buruk karena memberikan minuman kepada seekor anjing yang kehausan. 

Lalu di mana pengakuan mewakili rasul di saat membunuh wanita-wanita, anak-anak, dan mereka yang tidak berdosa? Di mana moralitas kerasulan yang diwakili dengan merusak kehidupan dan peradaban? 

Anti jihad

Terorisme tidak saja tidak sejalan dengan konsep jihad. Terorisme justeru anti jihad. 

Jihad adalah konsep kebaikan dan ke kebajikan. Jihad dihadirkan agar terbangun kebaikan dalam dada manusia, yang nantinya terefleksi dalam kehidupan lahirnya. Baik pada tataran kehidupan pribadinya maupun pada tataran kehidupan kolektifnya. 

Jihadlah yang telah menghapuskan dendam kusumat antar suku di kalangan masyarakat Arab ketika itu. Dan dengan jihadlah mereka mampu membangun peradaban yang maha dahsyat pada masanya, Al-Madinah Al-Munawarah. 

Maka masihkan relevan jika terorisme dipaksakan untuk dikaitkan dengan konsep jihad dalam Islam? 

Anti syurga

Seringkali kita dengarkan bahwa mereka yang melakuakn teror akan mati "fii sabilillah" (di jalan Allah). Sekali lagi, pengakuan ini adalah pengakuan palsu dan menyesatkan. 

Dalam pandangan Islam mati bukan perhatian partama dan utama. Tapi sesungguhnya kehidupanlah yang harus menjadi perhatian pertama. Islam datang bukan menjadi petunjuk mati. Tapi justeru menjadi petunjuk hidup. Islam mengajar manusia untuk hidup di jalan Allah (sesuai ajaranNya). Dan bukan datang mengajarkan kematian. Karena sesunguhnya jika manusia hidup di jalan Allah (shirathul mustaqim) maka jnsya Allah akan mati dengan sendirinya di jalan Allah. 

Maka pengakuan bahw mati dalam melakukan teror, membunuh rakyat sipil, anak-anak, wanita, menghancurkan fasilitas umum, semua itu di jalan Allah adalah sekali lagi kebohongan dan palsu. Mereka yang termakan dengan iming-iming ini hanya mereka yang berpikiran sempit dan dangkal. 

Kesimpulan

Dari semua itu jelas sejelas-jelasnya bahwa terorisme dan agam adalah dua paradoks. Dan mereka yang mengaku mewakili agama dalam aksi teror adalah pembohong. Sebaliknya mereka yang masih memaksakan mengaitkan agama dengan terorisme sedang mengalami "distorted mind" atau pemikiran distorsi. (Bersambung). 

New York, 9 Juli 2016

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement