REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif lembaga think tank berbasis di AS, Institute for Social Policy and Understanding (ISPU), Meira Neggaz mengatakan kepada Aljazirah, dari jajak pendapat yang diterbitkan pada Maret menunjukkan bahwa setiap lima Muslim di AS pernah mengalami diskriminasi secara teratur. Sementara lebih dari setengah dari mereka telah menghadapi beberapa diskriminasi.
"Kelompok agama lain yang menurut kalian juga menderita diskriminasi seperti Yahudi, ya mereka memang, tapi jumlahnya jauh lebih rendah, hanya sekitar lima persen," kata Neggaz.
Neggaz mencatat bahwa kenaikan sentimen anti-Islam lebih terikat dengan retorika politik dibandingkan aksi teroris. Pada Periode kampanye pemilu tahun 2008 sampai 2012, ada lonjakan Islamofobia yang tak ada hubungannya dengan aksi teror. Saat ini kencenderungan serupa juga terjadi di era pemilu.
Menurut Neggaz, ini merupakan bagian dari reaksi yang lebih luas melawan kelompok minoritas. Anggota parlemen juga banyak yang membuat undang-undang yang menyudutkan Muslim juga menyudutkan kelompok minoritas lainnya.
Neggaz mengatakan setidaknya ada 32 negara yang telah memperkenalkan dan memperdebatkan hukum anti-syariah atau kebijakan anti-asing. Menurut penelitian ISPU, 80 persen legislator yang menyeponsori jenis undang-undang semacam ini juga menyeponsori undang-undang yang membatasi hak-hak minoritas dan kelompok-kelompok yang rentan.
Ia juga menekankan bahwa Islamofobia merupakan ancaman bagi demokrasi AS dan mempengaruhi semua warganya. "Diskriminasi adalah ilegal. Harus ada prosedur hukum yang dapat mengatasi itu," ujarnya.