REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan sangat mendukung kesepakatan Kalender Islam Global dan menunggu tindak lanjut hasil Kongres Penyatuan Kalender Hijriyah Internasional yang digelar di Istanbul, Turki pada 28-30 Mei 2016.
"Kami serius dalam hal penentuan awal bulan qomariah. Kita akan terus menyamakan persepsi. Tapi harus didukung oleh umat Islam, tokoh agama dan semua organisasi Islam," kata Lukman pada Seminar Nasional "Kalender Islam Global" di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) di Jakarta, Jumat (17/6).
Dengan Kalender Islam Global, umat Islam diharapkan tidak akan lagi terkotak-kotak dalam perbedaan dalam penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan hari wukuf di bulan Dzulhijah. Bagi pemerintah, kalender yang menyatu ini juga akan berpengaruh pada banyak hal seperti penentuan tanggal cuti bersama, pengaturan transportasi dan infrastruktur kala musim mudik hingga jalannya perekonomian, seperti perbankan.
Ia mengatakan, telah beberapa tahun belakangan ini pemerintah bersama berbagai organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah mengadakan dialog yang bertujuan menyatukan penentuan tanggal dan kalender Hijriyah. Menurut dia, perbedaan metode hisab (berdasarkan hitung-hitungan) dan rukyat (pengamatan fenomena alam) hanya seperti dua sisi mata uang yang sama, di mana hisab selalu diawali dengan rukyat, sedangkan rukyat juga harus diawali dengan hisab.
"Sehingga penyatuan kalender Islam tidaklah mustahil dan harus segera diwujudkan. Syaratnya ada tiga, yakni adanya otoritas tunggal yang menjaga, kriteria yang disepakati dan adanya batas yang jelas," katanya.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Syamsul Anwar mengatakan, Kongres Unifikasi Kalender Hijriah Internasional itu dihadiri oleh para pakar astronomi, ahli syariah Islam, pejabat dan wakil organisasi Islam dari 60 negara.
Kongres yang diselenggarakan Badan Urusan Agama Turki bekerja sama dengan European Council for Fatwa and Research (ECFR) dan Islamic Crescents Observation Project (ICOP) itu menyepakati melalui pemungutan suara bahwa kalender Islam itu tunggal, bukan zonasi.
"Kalender Islam Global ini berlandaskan prinsip satu hari satu tanggal di seluruh dunia, di mana imkanu rukyat yang terjadi pada suatu bagian dunia akan digunakan kawasan lain yang tidak mengalami imkanu rukyat, agar seluruh dunia dapat memasuki bulan baru pada hari berikutnya," kata pakar kalender Islam yang menjadi wakil dari Indonesia dalam kongres tersebut.
Kalender tunggal hasil kongres Istanbul 2016 itu memiliki parameter, yakni bulan baru serentak bila sehari sebelumnya terwujud imkanu rukyat dengan kriteria tinggi bulan sekurangnya lima derajat dan elongasi sekurangnya delapan derajat di suatu tempat di bumi sebelum pukul 00.00 GMT.
"Dengan pengecualian bila imkanu rukyat pertama terjadi setelah 00.00 GMT maka bulan baru tetap dimulai dengan dua persyaratan waktu dan tempat," katanya.