REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ini revisi UU Anti Terorisme dalam proses revisi. Revisi diharapkan bisa meningkatkan efektivitas penanganan terorisme dan tidak diskriminatif.
Komisioner Komnas HAM, Hafid Abbas, mengingatkan pentingnya pengakuan Presiden AS Barack Obama dan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair dalam revisi UU tersebut. Ia berpendapat, pengakuan itu harus jadi pelajaran dalam merevisi UU Anti Terorisme, agar tidak menghancurkan suatu bangsa.
"Ada pengakuan yang sangat tulus dari Barack Obama dan Tony Blair," kata Hafid, Senin (30/5).
Pengakuan itu, kata Hafid, mencakup penyesalan Obama soal langkah AS menghancurkan negara-negara Islam seperti Libya karena terorisme. Selain itu, ada pengakuan Blair tentang persekongkolan Inggris dan AS dalam penghancuran Irak dan Islam, yang juga lewat terorisme.
Hafid menekankan, sistem penanganan terorisme Indonesia masih lemah, termasuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Detasemen Khusus (Densus) 88. Ia menilai, penanganan terorisme yang dilakukan masih serampangan dan justru dipenuhi pelanggaran-pelanggaran HAM.
Ia turut membela lembaga-lembaga Islam, yang dianggap sudah lebih dulu memerangi terorisme jauh sebelum lembaga seperti BNPT dan Densus ada. Menurut Hafid, lembaga-lembaga Islam seperti MUI, memiliki legitimasi yang kuat untuk menyelamatkan bangsa dari terorisme.