Sabtu 07 May 2016 14:22 WIB

Pasar Srowulan, Pasar di Antara Ngasem dan Puncak Merapi

Suasana kerja abdi dalem di Kraton Yogyakarta tahun 1880.
Foto: Gahetna.nl
Suasana kerja abdi dalem di Kraton Yogyakarta tahun 1880.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN – Ada yang mencolok dari penampilan Desa Srowulan, yakni keberadaan pasar di tengah perkampungan. Meskipun tidak begitu luas, area transaksi jual beli di sana menjadi sangat legendaris dibandingkan tempat lain.

Pasalnya pasar tersebut merupakan kembaran dari Pasar Ngasem milik Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Jika ditarik garis lurus, Pasar Srowulan tepat berada di tengah-tengah antara Pasar Ngasem dan Puncak Merapi.

Tapi cerita mengenai Pasar Srowulan tidak habis hanya di situ. Dahulu kala, di zaman penjajahan, pasar tersebut kerap kali memegang peranan penting. Di antaranya sebagai markas bagi para pahlawan, tempat menyusun stategi perang, serta sebagai titik pertemuan penting antara keraton dan Belanda.

Namun saat ini, pasar yang dibangun pada abad 1921 itu sudah tidak lagi dihuni para pedagang. Pembeli pun menghilang dari sarrana publik gagasan Sultan Hamengku Buwono ke-8 itu. Tidak ada lagi aktivitas yang berarti di sana.

Yang tersisa hanyalah kerangka bangunan pasar dikelilingi rumah-rumah tua. Beberapa di antaranya berarsitektur eropa. Lengkap dengan bebatuan berlumut yang seolah ingin menunjukkan betapa tuanya usia mereka.

Meski sudah tak berfungsi sebagaimana peruntukkan awalnya, Kini Srowulan menjelma menjadi sebuah desa wisata yang asri. Udara di sana sangat sejuk. Tetumbuhan hijau berjejer di setiap sudut. Air jernih pun mengalir dengan tenang. Langsung dari sumber mata air di sela-sela kaki Merapi.

Juru kunci Desa Srowulan, Sualman (71) menuturkan, Pasar Srowulan mati sejak 1955. Untuk menghidupkannya kembali, kawasan tersebut ditetapkan sebagai desa wisata pada 2000. Konsep desa wisata yang dibangun adalah Agro Budaya Pasar Kasultanan dan Perjuangan Srowulan.

“Maka itu, sampai sekarang kami masih merawat keaslian pasar. Meskipun orang-orangnya sudah tidak ada,” kata pria yang merupakan penduduk asli Srowulan itu. Sebab, kata Sualman, pasar ini menjadi cikal bakal berdirinya Kecamatan Pakem, yang sekarang sudah dipindahkan ke Jalan Kaliurang.

Selain itu, untuk mengenang pengabdian sang penulis naskah proklamasi yang lahir di Srowulan, Pemda DIY sengaja membangun Panggung Budaya Sayuti Melik di sana. Sualman menyampaikan, ke depannya dusunnya memang akan dikembangkan sebagai salah satu destinasi wisata sejarah dan budaya.

Sementara itu, Pengelola Desa Wisata Srowulan, JB Soebroto mengatakan, meski mengedepankan nilai lokal, Srowulan telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas wisata yang cukup lengkap. Seperti out bond, Resto Banyu Sumilir, dan homestay bagi pengunjung.

“Desa ini sangat cocok untuk dijadikan sebagai lokasi wisata pilihan. Selain suasana alam pedesaan, pengunjung juga bisa mempelajari sejarah di sini,” kata Soebroto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement