REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Kementerian Agama diharapkan memperhatikan pendidikan keagamaan untuk masyarakat tertinggal yang berada di daerah pedalaman agar memahami Agama Islam. Warga terisolasi seperti suku anak dalam dinilai juga berhak mendapatkan pendidikan agama agar mendapatkan kehidupan lebih baik.
"Warga yang berada di daerah terisolir itu juga memerlukan pendidikan keagamaan seperti masyarakat lainnya yang berada di perkotaan dan ini adalah tanggung jawab pemerintah," kata Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sumatra Utara (UINSU) Jaffar Siddik di Medan, Sumut, Ahad (17/4).
Dia menilai, Kementerian Agama dapat membuat program di daerah terpencil untuk memberikan pendidikan dan mengajar warga yang tinggal di daerah pedalaman serta terpinggirkan. "Untuk menolong masyarakat yang selama ini kurang mendapat perhatian mengenai keagamaan dan tinggal di dalam hutan," ujar Jaffar.
Menurut dia, program ini harus didukung karena untuk kepentingan warga yang tinggal di pedalaman. Kata dia, ini juga menjadi bukti bahwa Kemenag memiliki kepedulian yang cukup tinggi terhadap masyarakat yang tinggal di hutan maupun tempat lainnya yang jauh dari perkotaan.
Meski masyarakat suku anak dalam jauh berada di pedalaman, dia menjelaskan, pemerintah tidak dapat melupakan mereka."Suku anak dalam tersebut perlu mendapat pembinaan dan pendidikan keagamaan sebagai bukti kepedulian terhadap mereka yang juga warga Indonesia," katanya.
Jaffar menambahkan, pemerintah perlu terus berusaha memberikan pembinaan dan mengirimkan guru-guru untuk mengajar mereka yang berada di dalam hutan. "Pemerintah sangat berharap anak-anak yang tinggal di pedalaman harus mengetahui pendidikan agama dan juga pendidikan formal lainnya," kata staf pengajar dari UINSU itu.
Sebelumnya, Kementerian Agama (Kemenag) melalui Pusat Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan sedang merumuskan pedoman pembinaan keagamaan untuk suku dan masyarakat tertinggal di pedalaman Indonesia.
Berdasarkan informasi yang dilansir dari laman resmi Kemenag, pedoman mengenai keagamaan ini dirumuskan oleh 75 peserta yang berasal dari dosen, penyuluh agama, tokoh adat, perwakilan Suku Anak Dalam, organisasi kemasyarakatan Islam dan peneliti Puslitbang Pendidikan Agama dan keagamaan.