REPUBLIKA.CO.ID, SAN FRANSISCO -- Pekerja kreatif Muslim di bidang video game menggelar diskusi panel yang membahas penggambaran umat Islam dalam permainan-permainan digital populer. Dilansir dari Newsweek, Konferensi Developer Game di San Francisco yang digelar Kamis (17/3) lalu melihat kecenderungan penokohan Muslim yang cukup mengganggu dalam permainan-permainan populer semacam Call of Duty, atau game dengan cerita militer di dalamnya.
Selama dua dekade terakhir, pengajar seputar desain game dari Universitas Glasgow Caledonian, Romana Khan Ramzan mendapati Muslim telah menjadi satu dari tokoh-tokoh penjahat dalam video game. Game-game populer tersebut, di mana Muslim digambarkan sebagai penjahat, dianggap developer game keturunan Belanda-Mesir, Rami Ismail, berperan dalam memperkuat stereotip bahwa Muslim adalah teroris dan perlu dibunuh.
"Darah Muslim adalah yang paling murah di bumi saat ini," ujar Ismail.
"Darah Amerika yang paling mahal. Itu yang kalian semua buat di Call of Duty: Tembak orang Arab," tambahnya.
Dalam konferensi tersebut, para pembuat game berlatar belakang Muslim itu membahas kesalahan apa saja dan kesalahpahaman apa yang ditimbulkan oleh komunitas developer game Barat. Para panelis berargumen mengenai bagaimana memasukkan elemen Muslim dalam video game, termasuk membangun karakter Muslim yang bukan penjahat, seperti Faridah Malik dari game Deus Ex.
Beberapa video game mendapat pujian dalam konferensi tersebut, seperti seri pertama Assasin's Creed. Dalam permainan berlatar belakang organisasi rahasia tersebut, terdapat protagonis dari Syria. Game tersebut juga berhasil menghidupkan detil Yerusalem, Agra, Israel, dan Damaskus pada abad ke-12 di dalamnya.
Akan tetapi, tidak semua video game mengangkat budaya Muslim diterima secara luas. Salah satunya game besutan Konami, Six Days in Fallujah, yang batal dirilis 2009 silam. Game tersebut bertemakan militer, mengangkat kisah Pertempuran Fallujah II dalam Perang Irak. Game tersebut mengundang banyak protes, menyebabkan batalnya perilisan.