Selasa 29 Mar 2016 05:48 WIB

Ujian untuk Belajar

ujian nasional (ilustrasi)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
ujian nasional (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab

Setiap peserta didik pasti berharap lulus ujian, termasuk UN (ujian nasional). Meskipun UN bukan tujuan dan bukan penentu satu-satunya kelulusan dalam menempuh jenjang pendidikan, menghapi ujian, baik ujian dari proses pembelajaran maupun ujian kehidupan, sangatlah penting.

Dengan ujian, seseorang bisa berrefleksi diri dan menyadari kekurangan dan kelemahannya sehingga terpacu untuk meningkatkan kualitas diri dan meraih prestasi yang lebih tinggi.

Alquran menjelaskan bahwa hakikat kehidupan dan kematian ini merupakan ujian dalam rangka verifikasi siapa di antara manusia yang paling baik kinerjanya.

Dia yang menjadikan hidup dan mati supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (QS al-Mulk [67]: 2).

Tanpa ujian, manusia cenderung tidak mau belajar dan mengambil hikmah. Karena itu, ujian apa pun, termasuk ujian akhir dari proses pembelajaran, harus disikapi secara positif, penuh keinsafan, kebersyukuran, dan kesediaan untuk belajar.

Sesungguhnya, ujian yang sukses itu adalah ujian untuk belajar, bukan sebaliknya belajar untuk ujian. Jika ujian dimaknai untuk belajar maka siapa pun yang berkesadaran seperti itu pasti selalu berkomitmen untuk ikhlas, serius, dan sabar dalam belajar.

Sebaliknya, jika belajar diniati untuk ujian maka belajar itu akan berakhir dengan berakhirnya ujian. Belajar hanya untuk bisa menjawab soal-soal ujian, bukan untuk menjadi modal intelektual dan mental spiritual untuk meraih kemajuan dalam kehidupan.

Ujian dalam proses pembelajaran itu biasa dan wajar, karena semua proses kehidupan, termasuk pembelajaran, menghendaki adanya ujian.

Allah SWT menegaskan setiap orang beriman pasti diuji. “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan: Kami telah beriman, sedangkan mereka tidak diuji lagi.” (QS al-Ankabut [29]: 2).

Dengan ujian, kualitas seseorang dapat dinilai. Menurut sebuah pepatah Arab, “Melalui ujian, seorang itu dimuliakan atau menjadi terhina.” Oleh sebab itu, ujian harus dimaknai sebagai sarana untuk meraih kemuliaan, bukan kehinaan.

Orang mulia pasti berusaha mempersiapkan diri dengan belajar secara sungguh-sungguh, maksimal, berdoa, dan bertawakal kepada Allah SWT.

Saat ujian, dia akan menjalaninya dengan penuh keyakinan, kepercayaan diri, kesabaran, dan kejujuran (tidak nyontek, tidak bekerja sama, tidak membocorkan soal, dan sebagainya).

Ujian untuk belajar adalah warisan spiritual dan etos intelektual para nabi. Semua nabi dan rasul Allah itu pernah diuji dengan aneka cobaan hidup sebagai pelajaran berharga.

Kisah Nabi Musa AS berguru ilmu kepada Nabi Khidir AS sangat menarik dijadikan sebagai pelajaran. Sebelum proses pembelajaran dimulai, Nabi Khidir meminta Musa AS melakukan kontrak belajar dan bersepakat untuk tidak protes atau menyoal apa saja yang dilakukan sang guru.

Kontrak belajar ini sangat penting bagi peserta didik untuk menumbuhkan komitmen belajar yang tinggi. Selain itu, Nabi Khidir AS juga mensyaratkan agar Musa AS mau bersabar selama belajar dengannya.

Musa tidak menyangka bahwa pelajaran yang diberikan gurunya itu langsung berupa ujian kehidupan sehingga dia selalu protes, tidak setuju dengan tindakan gurunya.

Karena sudah tiga kali protes, Khidir akhirnya menyatakan, “Inilah perpisahan antara aku dan kamu. Aku akan menyampaikan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak bisa bersabar terhadapnya.” (QS al-Kahfi [18]: 78).

Musa memang tidak berhasil mematuhi kontrak belajar lantaran sikap kritis dan protesnya. Ketidakberhasilannya itu disebabkan oleh ujian yang diberikan sang guru melebihi batas daya nalarnya dan karena belum mampu melejitkan daya kesabarannya.

Namun demikian, ujian demi ujian yang diberikannya itu membuat Musa belajar dan memahami makna di balik sesuatu yang tidak semua orang bisa memahami.

Dengan kata lain, tujuan ujian bukanlah semata-mata untuk lulus dengan nilai kuantitatif yang tinggi, tetapi ujian yang dijalani harus menumbuhkan semangat belajar tanpa henti dan dengan penuh kesabaran sehingga nilai kualitatif dan hikmah kehidupan dapat diraih.

Nilai kehidupan jauh lebih berharga daripadai nilai kuantitatif karena hidup ini tidak cukup hanya dijalani dan diselesaikan dengan angka-angka kelulusan ujian.

Ujian menghendaki kesabaran. Sedangkan, kesabaran merupakan kunci kesuksesan, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam realitas kehidupan. Wallahu alam bish shawab!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement