REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus kematian terduga teroris asal Klaten, Jawa Tengah, Siyono (34), membuat publik menyoroti kinerja dari Detasemen Khusus Antiteror 88 (Densus 88).
Hal ini juga memunculkan pertanyaan, apakah aparat telah bertindak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Pengamat terorisme Al Chaidar mengatakan, penyalahgunaan wewenang dari aparat penegak hukum saat menjalankan tugas memang sangat mungkin dilakukan Densus 88. Terlebih, bila adanya sejumlah perbedaan, yang menyangkut isu sensitif di antara personel dan terduga teroris.
"Dari aparat sendiri muncul prasangka terhadap terduga pelaku yang kalau di Indonesia sangat mungkin disebabkan perbedaan suku dan agama yang akhirnya menimbulkan sentimen dan berujung menindak secara kejam, tidak sesuai dengan aturan," ujar Al Chaidar kepada Republika, Kamis (17/3).
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mailkussaleh Lhoksumawe, Aceh, ini pun menyarankan para personel Densus 88 merupakan orang-orang yang mengerti agama, serta mengerti ajaran-ajaran baik dalam agama secara keseluruhan.
Selain itu, ungkap Al Chaidar, akan sangat baik bila mereka adalah orang yang memiliki agama sama dengan terduga teroris agar tidak ada sentimen tersendiri.
"Kalau bisa yang dikumpulkan dalam Densus 88 adalah orang yang mengerti agama dan punya rasa simpati terhadap terduga teroris. Selain itu, tidak baik jika personel dan terduga berbeda agama karena ini sangat sensitif dan rentan dalam kasus terorisme," ujar Al Chaidar menjelaskan.