Bila kita lihat banyak sekali orang awam yang tidaksadar bahwa bentuk angka yang kita lihat sehari-hari itu adalah angka arab (Arabic number).
Ketidaktahuan ini pun meluas, tak peduli mereka itu adalah orang yang tinggal di belahan bumi barat, timur, utara, atau selatan. Mereka terkecoh seolah angka yang lazim digunakan adalah berasal dari peradaban Eropa, yakni angka Romawi.
Almarhum Nurcholish Madjid dalam sebuah ceramahnya beberapa tahun silam pernah menyinggung soal eksistensi angka. Dia mengungkapkan bahwa di Barat pun ketika orang ingin menyebut nama angka, maka dia harus menjelaskan terlebih dahulu apa nama angka itu. Sebab, ada dua model angka yang masih lazim dipakai hingga kini, yakni angka Romawi ( isimbolkan I , II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX ) dan angka Ara (disimbolkan 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9...)
Kalau angka Latin itu sudah lama mati. Dalam percakapan tinggal angka Romawai dan Arab. Sedangkan angka Romawi pun sangat jarang digunakan karena tidak praktis dan memakan tempat. ''Beda dengan angka Arab yang sangat praktis dan mengena sesuai alur logika, begitu kata Nurcholish Madjid.
Harus diakui, kepraktisan angka Arab yang pengaruhnya mendunia sebagai imbas dari penyebaran agama Islam memang tak terbantahkan. Kenyataan ini misalnya dapat dilihat kalau kita membaca tulisan surat kabar atau teks tayangan eletronik berbahasa China. Dalam tulisan itu, meski semua kalimatnya menggunakan huruf tersebut, namun ketika harus menyebutkan soal angka, maka akan kembali memakai angka angka Arab.
Mengapa ini terjadi? Jawabannya, bila masih menggunakan angka China, maka kalimatnya menjadi sangat panjang. Bahkan mungkin sudah menjadi berlembar halaman kalau sudah menyebut jumlah trilyunan.