REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi VIII DPR RI Saleh Partaonan Daulay mengatakan, UU No 13 Tahun 2008 belum ada ketentuan khusus terkait pelanggaran ibadah haji dan umrah. Karena itu, Komisi VIII DPR RI saat ini berencana akan merevisi UU tersebut.
"Jadi, terkait dengan sanksi tegas penyelenggaraan ibadah haji dan umrah sudah dimasukkan," kata dia, Jumat (11/3).
Saleh menerangkan, revisi yang akan dilakukan adalah bagian dari aspirasi kepada masyarakat. Tentu saja, karena maraknya penipuan oknum tidak bertanggung jawab kepada calon jamaah umrah.
Penipuan tersebut dapat terjadi karena tingginya minat masyarakat untuk melaksanakan ibadah umrah. Para jamaah memilih melaksanakan ibadah umrah karena aturan baru yang menyebutkan melakukan haji hanya diperbolehkan setiap sepuluh tahun sekali.
"Alternatif mereka lebih memilih ibadah umrah," tutur dia.
Setiap tahunnya, setidaknya terdapat 166.800 ribu calon jamaah haji melakukan ibadah ke Tanah Suci Makkah. Sedangkan karena peraturan tersebut, angka peminat ibadah umrah tercatat 750 ribu untuk dalam negeri. Kemudian, jika ditotal semuanya dari dalam dan luar negeri, dapat mencapai satu juta orang setiap tahunnya.
"Itulah mengapa aturan menjadi penting dilakukan," terang dia.
Sebenarnya, kata Saleh, ada atau tidak adanya aturan terkait penipuan telah ada di dalam KUHP. Dengan begitu, untuk masyarakat yang merasa tertipu dengan travel bodong, dapat mengadukannya ke aparat berwenang dengan pasal penipuan.
"Tetapi, dengan adanya aturan baru nanti akan dipertegas," tegas dia.
Hal itu seperti dengan orang yang tidak memiliki izin, berani memberangkatkan umrah ada sanksinya. Namun, ke depannya akan dipertegas, seperti teguran untuk mereka yang memiliki izin. Lalu, untuk mereka yang tidak memiliki izin, akan langsung dilaporkan dan mendapatkan hukuman.