Kamis 10 Mar 2016 09:00 WIB

Keutamaan Ulama

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin (kedua kiri) bersama sejumlah pengurus MUI dan perwakilan ormas Islam menunjukkan surat pernyataan sikap mengenai kegiatan Lesbian, Gay, Biseksual dan  Transgender (LGBT) di kantor MUI, Jakarta, Rabu
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin (kedua kiri) bersama sejumlah pengurus MUI dan perwakilan ormas Islam menunjukkan surat pernyataan sikap mengenai kegiatan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di kantor MUI, Jakarta, Rabu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beranjak dari poin apresiasi yang diberikan Allah kepada para ulama itu, al-Ajurri mengawali bab pertama kitab Akhlak al-Ulama' dengan memaparkan sejumlah hadis dan atsar tentang keutamaan ulama. Keutamaan yang dimaksud meliputi penghargaan yang diberikan Allah secara khusus di dunia serta kelak nanti di akhirat.

Penghormatan utama yang diberikan kepada para ulama yaitu melanjutkan estafet risalah yang disampaikan para nabi. Ulama adalah pewaris para nabi yang tidak mewariskan kekayaan harta, baik dinar maupun dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Dan para ulamalah yang mendapat kehormatan melanjutkan estafet tersebut.

Karena itu, jika dibandingkan antara kedudukan seorang ahli ibadah yang buta ilmu dan ulama, menurut al-Ajurri, adalah ibarat bulan purnama dengan bintang yang bertebaran di malam nan cerah. Inilah intisari hadis pertama yang dinukil oleh al-Ajurri dari hadis riwayat Abu Darda.

Riwayat lain yang disebutkan al-Ajurri menyangkut keutamaan ulama salah satunya ialah riwayat dari Abu Hurairah. Riwayat yang dinukil dalam Sunan Turmudzi itu menyatakan, tidak ada ibadah yang ditujukan kepada Allah yang lebih utama selain yang ditunaikan oleh seorang yang mengerti agama.

(Baca: Ulama Sebagai Pewaris Para Nabi)

Seorang fakih lebih sulit digoda oleh setan dari seribu ahli ibadah yang kurang mengerti agama. Sebab itu, dalam hadis tersebut dinyatakan, tiap segala sesuatu mempunyai tiang, dan tiang agama adalah ilmu.

Salman al-Farisi pernah menulis surat kepada Abu Darda. Dalam suratnya itu, Salman berkata, "Ilmu ibarat sumber mata air yang membasahi umat manusia. Allah memberikan manfaat bagi semua dari sumber itu. Dan, sesungguhnya sebuah hikmah yang tidak diperbincangkan ibarat jasad tanpa roh. Sedangkan, ilmu yang tidak dikeluarkan ibarat kekayaan yang tak dibelanjakan. Perumpamaan seorang pengajar seperti orang yang membawa lentera di kegelapan jalan, siapa pun yang berlalu di hadapannya akan tersinari."

Keberadaan seorang alim di tengah-tengah umat terlihat jelas dalam sebuah kisah diceritakan oleh Mujahid. Kala itu, para tabiin sedang berkumpul di masjid. Mereka antara lain Thawus, Said bin Jubair, dan Ikrimah. Sementara, Ibnu Abbas sedang melaksanakan shalat.

Lantas seseorang datang menanyakan suatu persoalan yang membuatnya bingung. Tepatnya, lelaki tersebut hendak bertanya tentang hukum air yang keluar tiap kali sehabis buang air kecil. Para tabiin itu pun menjawab, "Apakah air itu seperti air sperma? Jika demikian, Anda wajib mandi."

Lelaki itu pun mengiyakan, lalu segera berpaling dan beranjak pergi. Ibnu Abbas mendengar jawaban mereka. Dia pun bergegas menyelesaikan shalat lalu meminta Ikrimah memanggil kembali lelaki itu. Ibnu Abbas lalu mempertanyakan dari manakah dalil pendapat yang mereka ambil? Ternyata, jawaban diambil dari pendapat mereka.

Ibnu Abbas menegaskan, keutamaan seorang ahli fikih lebih baik dibanding ahli ibadah. Ibnu Abbas pun mengutarakan pendapatnya, selama air yang keluar tidak disertai syahwat dan kondisi lemas di badan, air yang keluar setelah buang air kecil bukan dikategorikan sperma. Karena itu, orang itu cukup berwudhu tanpa mandi junub.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement