Selasa 01 Mar 2016 07:07 WIB

Haedar Nashir: Muhammadiyah tidak akan Masuk Gerakan Deradikalisasi

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menjawab pertanyaaan wartawan pada acara Konpers Refleksi Akhir Tahun 2015 di Jakarta, Rabu (30/12).
Foto: Republika/ Darmawan
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menjawab pertanyaaan wartawan pada acara Konpers Refleksi Akhir Tahun 2015 di Jakarta, Rabu (30/12).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, Muhammadiyah tidak akan masuk dalam gerakan deradikalisme. Hal ini dilakukan agar Muhammadiyah tidak terjebak dalam kepentingan proyek.

"Kami tidak akan masuk gerakan deradikalisme karena akan menjebak kepentingan proyek," ujarnya dalam Seminar Nasional Moderasi Antitesis Radikalisme dan Deradikalisme di kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Senin (29/2).

Menurutnya, gerakan keagamaan memang seharusnya tidak terjebak dengan hal-hal yang kelihatannya menguntungkan. Namun, kata dia, hal itu justru berakibat merugikan bangsa dan negara sendiri.

Menurutnya, program deradikalisme yang kemudian dikaitkan dengan program nasional juga akan terkait dengan sumber pendanaan dan sponsor. Jika itu terjadi, kata dia, program ini akan sulit sekali dihentikan, meski teroris tidak ada sekalipun, program itu akan tetap ada.

"Kita tidak ingin dengan program deradikalisme, justru tercipta kesan Indonesia isinya terorisme. Bahkan, masjid-masjid akan diprogram radikalisme," katanya.

Diakuinya, gerakan deradikalisme itu muncul ketika di Indonesia ada kehendak menghilangkan cara kekerasan yang dilakukan oleh terorisme. Dan, aksi ini sering kali dikaitkan dengan kelompok Islam tertentu.

"Para pejabat mengatakan bukan Islam, namun yang terjadi selalu dilakukan kelompok tertentu yang terkait dengan adanya Islam," ujarnya.

Muhammadiyah, kata dia, memang tidak setuju dengan tindakan terorisme. Namun, deradikalisme juga akan memberikan dampak yang tidak sederhana.

Karena, menurut Haedar, dalam gerakan radikalisme sendiri selalu ada kepentingan ekonomi yang tidak sederhana yang berada di belakangnya.

Sementara itu, Guru Besar Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Sunyoto Usman dalam kesempatan itu mengatakan, teroris itu sebagai kelompok tidak tunggal, sangat berdimensi, dan terus menemukan bentuk baru. Radikalisme sendiri telah menjadikan human role menjadi god role, dan sering kali Muslim menjadi kelompok tertuduh.

"Karenanya, deradikalisme sering kali Muslim yang kena. Padahal, banyak itu radikalisme agama di sekte dan agama lain juga ada, tidak hanya terkait Muslim. Di literatur ada itu sejak dulu," katanya.

Mantan KABAIS TNI, Laksda TNI (purn) Soleman B Ponto, mengatakan bahwa deradikalisasi ataupun moderasi untuk pemberantasan terorisme justru akan menghasilkan masalah baru.

Karena, melaksanakan moderasi pada dasarnya adalah melemahkan daya pemersatu dengan mengubah perilaku. Karena itu, jika moderasi digunakan untuk memberantas terorisme, akan berhadapan langsung dengan agama. Sebab, selama ini terorisme sering kali dikaitkan dengan agama tertentu.

"Moderasi akan dianggap sebagai upaya melemahkan ajaran agama. Karena, selama ini organisasi terorisme pada umumnya menggunakan agama sebagai daya pemersatu," katanya.

Hal yang sama juga terjadi jika deradikalisasi dilakukan. Karena pada dasarnya, hal ini dikerjakan dengan upaya melemahkan daya pemersatu tersebut. Ketika deradikalisasi ini digunakan untuk pemberantasan terorisme, juga tidak terelakkan akan berhadapan dengan agama dan dianggap sebagai upaya melemahkan ajaran agama. "Ini akan menimbulkan masalah baru lagi," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement