REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengkritisi sistem kredit pembiayaan ibadah haji dan umrah di perbankan syariah Indonesia. Fasilitas uang muka (down payment/DP) bagi ibadah haji dan umrah dengan skema pembiayaan yang sama dengan sistem kredit pada umumnya dipermasalahkan.
"Artinya jamaah bisa berangkat berhaji atau umrah walau belum lunas pembayarannya, ini kan berarti meninggalkan utang yang tidak diajarkan dalam Islam," kata pengurus PB Al Washiliyah, Affan Rangkuti, Sabtu (27/2).
"Selain itu," kata dia melanjutkan, "bisa saja ke depannya ibadah ini dituding penyumbang kemiskinan Indonesia, boleh jadi puluhan ribu jemaah umrah tertipu dan terlantar akibat umrah dengan biaya murah yang ditengarai adanya peran utang."
Ekonom syariah menambahkan, perbankan syariah saat ini melakukan praktik pembiayaan ibadah haji dan umrah dengan skema kredit hampir semuanya, termasuk perbankan syariah berplat merah. "Saat ini semua perbankan syariah melakukannya termasuk yang milik pemerintah, silakan saja lihat di laman web resmi mereka seperti Permata Bank Syariah, Mandiri Syariah, dan lainnya ya memang seperti itu adanya," ujarnya pula.
Hal tersebut, kata Affan, tidak terlepas dari Undang Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Dana Haji yang menempatkan dana haji di bank syariah. "Sebetulnya tidak apa-apa, namun karena di kita masih menganut sistem dualisme perbankan konvensional dan syariah, jadi bermasalah. Karena bank syariah tidak melulu bicara suku bunganya nol persen, tapi juga etika, moral dan akhlak dalam berbisnis," kata dia.
Sejumlah perbankan syariah melakukan praktik kredit dalam pembiayaan untuk menjalankan Rukun Islam kelima tersebut.
Namun kebanyakan mencantumkan fasilitas pelunasan setelah ibadah dilaksanakan, pada produk pembiayaan umrah, antara lain Permata Bank Syariah, Bank BRI Syariah, BNI Syariah, dan Bank Mandiri Syariah.
(Baca Juga: MUI Kritik Pembiayaan Haji dan Umrah Melalui Utang)