REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak empat orang peneliti dari Universitas Michigan, Universitas Iowa, Universitas Georgia, dan Konsorsium Nasional untuk Penelitan Terorisme dan Respon Terorisme menerbitkan jurnal yang memperlihatkan paparan singkat berita yang memperlihatkan Muslim dalam sudut negatif benar-benar menyebabkan penontonnya mendukung kebijakan yang merugikan Muslim.
Penelitian tersebut relevan dengan situasi media yang terus menerus memberitakan Muslim dan Islam dalam sudut pandang yang memojokkan. Pemberitaan negatif tersebut makin bermasalah ketika orang-orang sulit membedakan Islam radikal dan interpretasi Islam yang sesungguhnya—di mana mayoritas Muslim tak mendukung teror.
Dalam penelitian, partisipan dibagi menjadi tiga kelompok. Tiap kelompok diperlihatkan video dari YouTube berdurasi dua sampai tiga menit, memperlihatkan Muslim dalam berbagai sudut pandang. Mulai dari sudut pandang negatif, netral, dan cerita positif tentang Muslim. Setelah cuplikan video berita tersebut ditayangkan, tiap kelompok disurvey yang menilai dukungan mereka terhadap aksi militer pada negara-negara Muslim, juga dukungan mereka terhadap pembatasan sipil pada Muslim Amerika.
Apa yang ditemukan adalah partisipan yang menonton berita negatif menganggap Muslim sebagai orang-orang agresif, dan para partisipan menjadi lebih suportif pada serangan terhadap negara-negara Muslim. Lebih jauh lagi, para partisipan itu mendukung pembatasan hak-hak sipil terhadap Muslim Amerika.
Hasil termuan tersebut dapat dikorelasikan dengan kampanye-kampanye beberapa calon presiden Amerika Serikat yang menyebarluaskan sentimen anti-Muslim, sangat mudah mendapat dukungan pro-sayap kanan dan mendominasi media-media pendukung mereka.
Akan tetapi penelitian ini juga memperlihatkan jalan mengatasi sentimen anti-Muslim. Partisipan yang melihat pemberitaan positif tentang Muslim cenderung kurang setuju dengan aksi militer terhadap negara-negara Muslim dan tidak ingin membatasi hak-hak Muslim Amerika