Senin 18 Jan 2016 21:47 WIB

Muhammadiyah: Arah Pembangunan Negara Butuh GBHN

Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir bersama sejumlah pengurus pusat Muhammadiyah saat bertemu dengan Ketua MPR Zulkifli Hasan didampingi para wakil ketua dan pimpinan fraksi di ruang delegasi, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/1).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir bersama sejumlah pengurus pusat Muhammadiyah saat bertemu dengan Ketua MPR Zulkifli Hasan didampingi para wakil ketua dan pimpinan fraksi di ruang delegasi, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengusulkan agar MPR RI melakukan amandemen terbatas konstitusi atau UUD NRI 1945 guna mengembalikan posisi MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara dan menghidupkan kembali garis-garis besar haluan negara (GBHN).

Muhammadiyah mencermati arah perkembangan bangsa sejak era reformasi, melihat adanya distorsi demokrasi, salah satunya pada posisi dan kewenangan MPR RI," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir ketika bertemu dengan pimpinan MPR RI di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin (18/1).

Pada kesempatan tersebut, Haedar Nashir didampingi sejumlah pimpinan Muhammadiyah antara lain para ketua yakni Anwar Abbas, Busyro Muqqoddas, Muhadjir Effendy, Suyatno, serta Abdul Mu'ti (sekretaris umum), dan Marpuji Ali (bendahara).

(Baca: Muhammadiyah Dukung Pembentukan Kembali GBHN)

Sementara, Ketua MPR RI Zulkifli Hasan didampingi para wakil ketua yakni EE Mangindaan, Oesman Sapta, dan Mahyudin, serta para ketua fraksi yakni?Johhn Pierris (DPD), Sunmanjaya (PKS), Fadholi (Nasdem), Ahmad Basarah (PDIP), Anna Muawanah (PKB).

Menurut Haedar Nashir, Muhammadiyah berpandangan poin penting dalam amandemen konstitusi adalah perubahan pasal soal pemilihan presiden dari dipilih oleh MPR RI menjadi pemilihan langsung oleh rakyat. "Namun, dalam praktiknya amandemen konstitusi yang dilakukan sampai empat kali, mengubah beberapa pasal lain sehingga jumlah pasal dan ayatnya jadi bertambah banyak," katanya.

Menurut Haedar, Muhammadiyah melihat dalam konstitusi yakni UUD 1945 yang dibuat para pendiri bangsa, MPR RI benar-benar representasi wakil rakyat, baik yang dipilih melalui pemilu, maupun utusan daerah dan utusan golongan.

Konstitusi yang telah diamandemen menjadi UUD NRI 1945 saat ini, menurut dia, seperti sudah tercerabut dari representasi rakyat sehingga sehingga wakil rakyat di MPR RI tinggal dua yakni DPR dan DPD.

"Dalam tafsir Muhammadiyah, MPR RI perlu dikembalikan ke posisi sebagai lembaga tertinggi negara. MPR RI juga perlu memiliki kewenangan membuat GBHN," katanya.

Haedar menegaskan, arah pembangunan negara tidak bisa diserahkan hanya kepada visi presiden pada saat pemilihan presiden.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement