Senin 18 Jan 2016 20:19 WIB

DPR Minta Aturan Baru Pemilihan Rektor Ditinjau Ulang

Perguruan tinggi swasta
Foto: atmabhakti
Perguruan tinggi swasta

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Deding Ishak menyatakan Kementerian Agama mesti mendengar dan memperhatikan secara serius penolakan 300 guru besar di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTIKN) terhadap Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor Perguruan Tinggi di lingkungan Kemenag.

"Kemenag mesti mendengar dan perhatikan serius apa yang menjadi aspirasi dari 300 profesor yang minggu kemarin disampaikan langsung ke Komisi VIII DPR. Mereka sampaikan rasa keprihatinan dan penolakannya dengan adanya PMA tersebut," ucap Deding dalam keterangan tertulisnya, Senin (18/1).

Dengan adanya penolakan itu, ujar Deding, Kemenag harus meninjau kembali PMA tersebut. Deding pun menyebut keberadaan PMA 68/2015 akan merusak dinamika demokratisasi dan otonomi kampus. "Di kampus kan ada otonomi, dan demokratisasi, PMA ini merusak dinamika itu. Jadi saya mendesak PMA itu ditinjau kembali, dari pada terlanjur merusak dinamika otonomi dan demokratisasi di kampus," ujar politisi Partai Golkar ini.

Deding juga menyatakan kehadiran PMA tersebut banyak mudharat-nya. Bahkan, PMA menegasikan ruh kampus sebagai pusat peradaban dan pencerahan politik yang beradab. "Konflik internal di kampus krn pemilihan rektor jangan jadi alasan adanya PMA. Konflik itu kasuistik saja, itu ekses yang memang harus diantisipasi tanpa menegasikan ruh kampus sebagai pusat peradaban, pencerahan politik yang beradab," kata Deding.

Sebelumnya, Kamis (14/1) perwakilan 300 profesor dari berbagai PTKIN di lingkungan Kemenag mengadakan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VIII DPR. Mereka menolak PMA 68/2015 yang mengatur pemilihan rektor melalui Komisi Seleksi yang dibentuk Menag.

Penolakan para guru besar itu sebelumnya diputuskan pada Sidang Pleno Konperensi Guru Besar PTKIN di Jakarta beberapa waktu yang lalu. "Keputusan Menteri Agama tersebut bertentangan dengan semangat demokrasi dan otonomi kampus. Padahal UU Pendidikan Tinggi sudah menjamin Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM," kata Prof Muhammad, sekretaris Senat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Guru Besar bidang Ulumul Qur'an tersebut menyatakan, para Guru Besar menginkan proses pemilihan Rektor dikembalikan seperti semula melalui senat masing-masing perguruan tinggi. "Sebagai user, tentu masyakarat kampus lebih paham siapa Rektor yang terbaik untuk mereka pilih. Pemilihan Rektor melalui senat dinilai lebih demokratis, partisipatif, transparan dan efektif," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement