Sabtu 02 Jan 2016 05:35 WIB

Manusia Pengembara

Rezeki (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Rezeki (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Inayatullah Hasyim

Suatu hari, Rasulallah SAW memegang pundak Abdullah bin Umar. Rasulullah SAW kemudian berpesan, “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau pengembara.”

Rupanya, putra Umar bin Khattab itu sangat terkesan dengan ucapan singkat Rasulallah SAW hingga dia berkata, antara lain, “Jaga nikmat hidupmu sebelum ajal menjemputmu.

Demikian pula seharusnya kita. Bukankah setiap capaian dunia hanyalah halte demi halte untuk sampai pada terminal akhir kehidupan yaitu kematian.

Pada hakikatnya, manusia memang hanya musafir, hingga Ibnul Qayyim, ulama besar abad ke-12 Masehi berkata, “Manusia sejak tercipta dilahirkan untuk menjadi pengembara.

Sifat pengembara dalam diri manusia merupakan sebuah keniscayaan kehidupan sebagaimana diungkap Imam Syafii, “Bahkan seekor singa tidak akan pandai memangsa jika tidak hidup di hamparan bumi yang luas, dan anak panah tak akan menemui sasarannya bila tak pernah dilepaskan dari busurnya.

Sayangnya, sifat pengembaraan manusia sering membuatnya alfa dalam pengembaraannya di padang safana kehidupan. Manusia menjadi rakus dalam berburu rezeki.

Manusia berpikir, rezeki adalah uang. Padahal, sebuah cinta dari seorang istri pun adalah rezeki. Bukankah Rasulallah SAW menyebut cinta Khadijah dengan berkata, “Aku telah diberi rezeki dengan cintanya.

Seringkali manusia tak pandai bersyukur atas karunia rezeki yang melimpah. Padahal, Allah SWT berjanji untuk memberi lebih jika seorang hamba pandai bersyukur.

Karena itulah, Ibnul Qayyim berkata, “Andai seorang hamba mendapat rezeki dunia dan seluruh isinya, kemudian dia bekata, “alhamdulillah,” niscaya pemberian Allah padanya dengan ucapan hamdallah itu akan lebih besar dari seluruh dunia dan seisinya.

Mengapa? Sebab, segala kenikmatan dunia akan berakhir sementara pahala atas ucapan tahmid itu kekal hingga hari akhir. Manusia memang sering mengalami krisis keyakinan soal rezeki. Krisis itulah yang menghantarkan manusia menjadi serakah, korup, manipulatif dan merampas hak-hak orang lain.

Ulama mengatakan ada tiga konsep rezeki. Rezki yang telah dijamin (rizqul makful), rezeki yang dibagikan (rizqul maqsum) dan rezeki yang dijanjikan (rizqul maw’ud).

Konsep rezeki pertama seperti udara yang kita hirup, angin yang berhembus, dan kenikmatan lainnya yang Allah SWT berikan tanpa usaha manusia. Pada dua konsep rezeki lainnya, manusia harus berusaha, tentu dengan cara yang halal.

Itulah sebabnya Rasulallah SAW berkata, “Mencari rezeki yang halal adalah (bersifat) wajib setelah kewajiban agama (seperti shalat dan puasa).” Setelah segala kenikmatan rezeki diperoleh, manusia seharusnya berbagi.

Nasihat ringkas Ibnul Qayyim menarik untuk dikutip. Ia berkata, “Boleh jadi saat kau tertidur lelap, pintu-pintu langit tengah diketuk puluhan doa; dari orang miskin yang kau tolong; dari orang lapar yang kau beri makan; dari orang yang sedih dan telah kau hidupi, dari orang yang berjumpa denganmu dan kau berikan senyum. Karena itu jangan pernah meremehkan amal-amal kebaikan”. Wallahu a’lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement