Senin 14 Dec 2015 06:03 WIB

Menjadi yang Mulia

Akhlak mulia (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Akhlak mulia (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Haedar Nashir

JAKARTA -- Nabi Muhammad SAW berkisah tentang perangai mulia. Si A menjual tanah miliknya kepada Si B. Tanah itu benar-benar milik Si A hasil jerih payahnya. Bukan tanah hasil rente, suap menyuap, gratifikasi, korupsi, dan segala usaha yang batil.

Si-B pun membeli tanah itu dari hasil keringat dirinya. Bukan uang hasil permintaan saham milik orang lain, lebih-lebih dari pekerjaan subhat dan haram. Baginya kekayaan yang melintas dalam hidupnya haruslah halal dan baik. Tidak boleh harta kotor yang melumuri kebersihan dirinya.

Tapi apa yang terjadi usai transaksi? Ternyata di dalam tanah barunya itu Si B menemukan bongkahan emas. Dia kaget, diambilnya tumpukan emas itu lalu dibungkus. Setelah itu, seluruh emas itu dia bawa dan dia serahkan kepada Si A sang penjual tanah.

Si A kaget menyaksikan pembeli tanahnya kembali dan menyerahkan bongkahan emas. "Aku datang mau memberikan emas yang tersimpan di tanah yang engkau jual," ujar Si B.

"Aku tidak mau menerima emas itu karena tanah yang kujual termasuk apapun yang ada di dalamnya," jawab Si A. Si B bergeming, ia tidak mau membawa kembali emas itu. Dalam pikiran dia, ketika membeli tanah itu, tidak termasuk membeli emas.

Dua orang yang berjual beli tanah itu tak menemukan kata sepakat. Akhirnya keduanya bersetuju meminta fatwa hakim. Hakim yang benar-benar adil dan berjiwa mulia. Bukan hakim yang suka bersandiwara, yang bangga berpakaian kebesaran dan dipanggil Yang Mulia tetapi perangainya kerdil jauh dari kemuliaan.

Hakim nan adil itu lalu mengambil keputusan. Emas itu dijual, masing-masing dipakai untuk memerdekakan hamba sahaya dua orang yang berperkara itu. Sisanya dijadikan dana infak sedekah. Sebuah keputusan yang cerdas, bijak, dan benar-benar mulia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement