REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni'am Sholeh mengatakan, praktik nikah siri melanggar prinsip-prinsip perlindungan anak karena ketidaan pencatatan menyulitkan status hak anak.
"Ketika tidak ada dokumen, maka akan terjadi kesulitan dalam pemenuhan hak-hak dasar dan ini membahayakan serta melanggar prinsip perlindungan anak," kata Ni'am, di Jakarta, Sabtu (5/12).
Sebelumnya KPAI sudah berdialog dengan Kementerian Sosial terkait dengan masalah akta kelahiran dan nikah siri.
Ni'am mengatakan, dalam undang-undang, perkawinan menyaratkan dua aspek, yaitu aspek legalitas atau keabsahan dalam perspektif agama dan perkawinan dicatatkan sesuai peraturan perundang-undangan.
Menurut dia, meski berbeda, tapi kedua hal ini tidak terpisahkan. Karena itu pemerintah tidak memberikan pengakuan keperdataan dalam peristiwa perkawinan yang tidak dicatatkan.
Dampaknya, negara baru akan memberikan perlindungan keperdataan bila perkawinan tercatat dalam dokumen negara.
Terkait status anak yang lahir dari nikah siri, maka anak tersebut memiliki hak-hak terkait dengan keterdataan agama. Tapi untuk proses pembuktian membutuhkan dokumen otentik dalam hal ini adalah akta kelahiran.
Sebelumnya, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan praktik pernikahan siri rentan tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan.
"Nikah siri itu hulu, KDRT dan kekerasan terhadap perempuan hilir. Hulu dari pernikahan dini sangat kuat kaitannya dengan nikah siri," kata Mensos.
Pentingnya pernikahan diadminiatrasikan, kata Mensos, sebab terkait begitu rentannya child trafficking, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan terhadap anak, perceraian, serta kecacatan anak.
Dia menyebutkan, dari 86 juta anak di Indonesia, 43 juta tidak memiliki akta kelahiran. Hal itu terjadi karena tidak punya akses untuk administrasi dan proses perkawinan tidak teradministrasikan.