REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Peristiwa serangan teror Paris dinilai bukan peristiwa independen namun sebelumnya ada stimulan dan variabel pelengkapnya.
“Terorisme masih konstan sebagai fenomena komplek yang lahir dari beragam faktor yang juga kompleks,” ujar Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya, Ahad (15/11).
Di antaranya, faktor domestik seperti kesenjangan ekonomi (kemiskinan), ketidakadilan, marjinalisasi, kondisi politik dan pemerintahan, sikap represif rezim yang berkuasa, kondisi sosial yang sakit, dan faktor lain yang melekat dalam karakter kelompok dan budaya.
Ada faktor internasional seperti ketidakadilan global, politik luar negeri yang arogan dari negera-negara kapitalis Amerika Serikat dan sekutunya, imperialisme fisik dan non fisik dari negara adidaya di dunia Islam, standar ganda dari negara superpower, dan sebuah potret tata hubungan dunia yang tidak berkembang sebagaimana mestinya (unipolar).
Harits juga menilai keberadaan realitas kultural terkait substansi atau simbolik dengan teks-teks ajaran agama yang dalam interpretasinya cukup variatif.
“Ketiga faktor tersebut kemudian bertemu dengan faktor-faktor situasional yang sering tidak dapat dikontrol dan diprediksi, akhirnya menjadi titik stimulan lahirnya aksi kekerasan ataupun terorisme,” ujar pengamat kontraterorisme ini.
Klaim dari pihak Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) atas serangan teror di Paris, menurut Harits, bagi dunia Barat mudah menghakimi sebagai aksi terorisme produk dari kelompok Islam.
“Tapi, penting kiranya bagi kita secara kritis menghadirkan pisau analisis framework rasional untuk mengeja tragedi Paris. Framework ini teroris dan sasaran terornya diletakkan sebagai aktor rasional dan strategis,” ujarnya.
Rasional dalam arti tindakan mereka konsisten dengan kepentingannya dan semua aksi mencerminkan tujuan mereka.Strategis dalam artian pilihan tindakan mereka dipengaruhi oleh langkah aktor lainnya (lawan) dan dibatasi oleh kendala (constrain) yang dimilikinya.