Oleh: Prof. Didin Hafidhudin
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah sebagai penentu kebijakan negara dan pihak yang paling bertanggung jawab terhadap nasib rakyat perlu mendalami permasalahan yang melilit bangsa ini secara komprehensif dan tidak parsial. Kemudahan yang diberikan kepada investor asing untuk menanamkan modal dan pemberian fasilitas untuk menggarap proyek-proyek besar dan strategis haruslah dengan pertimbangan dan perencanaan matang.
Kita tidak rela kedaulatan ekonomi nasional tergadaikan dengan kehadiran proyek-proyek megah yang mengubah wajah Indonesia masa depan hanya dinikmati oleh segelintir kalangan yang berpunya, sementara rakyat yang miskin dan berpenghasilan rendah tetap saja dalam kemiskinannya tanpa perubahan nasib, kecuali hanya menjadi "bangsa kuli" di negeri sendiri. Padahal, kemerdekaan yang diperjuangkan dan dipertahankan oleh para pemimpin dan pejuang pada masa lalu adalah untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
(Baca Juga: Dampak Kabut Asap)
Dalam menyikapi permasalahan dan kondisi faktual yang dihadapi bangsa dan negara diperlukan solusi yang saling mendukung, yaitu pertama, solusi kebijakan yang merupakan wilayah pemerintah.
Kedua, solusi sosial yang bisa dilakukan oleh masyarakat, artinya dari masyarakat dan untuk masyarakat.
Solusi kebijakan adalah kata kunci yang dibutuhkan, tidak sulit menemukannya, dan tidak memerlukan banyak teori. Kebijakan yang dibutuhkan dan ditunggu rakyat saat ini ialah kebijakan yang adil dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Keadilan dan keberpihakan sebagaimana dimaksud tidak mudah mewujudkannya, kecuali bagi pemimpin dan penyelenggara negara yang amanah, jujur, melayani rakyat dalam satu kata dengan perbuatan, serta memiliki rasa tanggung jawab terhadap masa depan bangsa dan negara, baik selama dia menjabat maupun setelahnya.
Solusi bersifat sosial yang menjadi kebutuhan dan keniscayaan untuk dilakukan ialah mengokohkan kedermawanan kolektif. Dalam berbagai ungkapan dan pernyataan resmi sering disebut bahwa bangsa Indonesia memiliki budaya gotong-royong.
Kegotong-royongan bangsa sejatinya tidak tumbuh di ruang hampa, tetapi memiliki akar yang kuat pada ajaran dan nilai- nilai agama, dalam hal ini bagi umat Islam tiada lain adalah ajaran ta'awun(tolong- menolong, sebagaimana dikemukakan dalam QS al- Maidah [5] ayat 2), saling mengasihi dan mencintai, serta saling melindungi antarsesama.
Banyak ayat Alquran dan hadis Nabi SAW yang menyatakan keutamaan kedermawanan sebagai sikap mental dan karakter yang harus dimiliki seorang Muslim dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Islam, tidak dipandang sempurna iman seseorang apabila tidak memiliki kepedulian dan kesadaran untuk menolong orang lain yang membutuhkan, apalagi terhadap kaum yang fakir miskin dan dhuafa.
Motivasi dan spirit ajaran Islam telah mendorong kaum Muslim Indonesia semenjak zaman penjajahan untuk bangkit mendirikan organisasi dan mengembangkan berbagai bentuk kegiatan sosial- kemanusiaan guna turut memecahkan masalah-masalah sosial, baik dalam skala kecil, sedang, maupun besar.
Dalam perkembangan selama ini, bencana yang silih berganti melanda Tanah Air kita telah memanggil kepedulian sejumlah elemen masyarakat, ormas Islam, termasuk lembaga zakat dan LSM berbasis umat, untuk mengambil peran dan bagian dalam upaya membantu meringankan beban dan penderitaan masyarakat di daerah yang terkena bencana.
Dalam kaitan ini, diharapkan kedermawanan kolektif perlu terus terpelihara di tengah perubahan nilai dan budaya masyarakat yang cenderung materialistik. Kedermawanan yang diajarkan agama bukanlah kedermawanan musiman dan temporer atau kedermawanan karena ada kepentingan untuk meraih simpati masyarakat, kedermawanan menjelang pemilu atau pilkada, tetapi kedermawanan yang ajeg sepanjang waktu dan hanya mengharapkan ridha dan pahala dari Allah SWT.
Dengan kokohnya kedermawanan kolektif, insya Allah kehidupan bangsa kita akan mampu bertahan di tengah tantangan masa depan yang makin kompleks dan berat. Wallahu a'lam bisshawab.