REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Semangat nasionalisme santri bukan hanya nostalgia sejarah saat Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Namun, semangat nasionalisme santri harus tetap relevan di kehidupan kekinian.
Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI, Cholil Nafis mengatakan, nilai-nilai agama saat ini mulai terpinggirkan di tengah kehidupan serba modern. Masyarakat sangat individualistik dan pragmatis. Karena itu kontekstualisasi semangat nasionalis para santri sangat dibutuhkan. Bukan hanya nostalgia sejarah, namun juga relevansinya dalam kehidupan kekinian.
"Relevansinya sekarang ini bagaimana kehidupan spiritual santri, mampu menjadi contoh untuk menghilangkan sifat individualistik dan pragmatisme di masyarakat," ujarnya kepada ROL, Jumat (23/10).
Saat ini, masyarakat menilai kesuksesan dan keberhasilan hanya dari materi. Bila hal ini dibarengi dengan nilai moral yang rendah, tentu berujung pada korupsi dan kriminalitas. Hari Santri lahir sebagai lonceng pengingat agar bangsa Indonesia melihat kesederhanaan dari kehidupan santri.
Dengan demikian, kontekstualisasi memperingati Hari Santri bukan hanya mengenang dan meluruskan sejarah. Tapi di sisi lain menguatkan nilai spiritual masyarakat Islam Indonesia saat ini. "Jadi bukan untuk mengkotak-kotakan warga bangsa," tambahnya.