Kamis 22 Oct 2015 17:43 WIB

Unsur Seni Berceramah di Masa Kejayaan

Khatib tengah berceramah di hadapan jamaah.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Khatib tengah berceramah di hadapan jamaah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak awal perkembangannya, zuhud dan tasawuf telah menjadi ciri khas kalangan Tradisionalis. Para pengikut berbagai mazhab fikih dengan imamnya yang utama, Ibn Hanbal dan Syafi'i mencontoh kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Teologi yang diajarkan di lembaga pendidikan tinggi adalah teologi syariat yang garis besarnya termuat dalam Al-Risalah karya Imam Syafi'i.

Teologi ini menjadi pilihan untuk menggantikan teologi filsufis (kalam) dari aliran Muktazilah yang ditentang Syafi'i sepanjang kariernya. Syafi'i menciptakan model teologi syariatnya berdasarkan Alquran dan sunah Nabi dengan ilmu hadis sebagai wahananya. Ia menawarkannya kepada kaum Tradisionalis sebagai ilmu keagamaan untuk melawan gerakan teologi filsufis kaum Muktazilah yang lebih mementingkan akal ketimbang dalil naqli karena pengaruh filsafat Yunani kuno.

Unsur lain yang dipelihara Tradisionalis adalah akidah. Oleh karena itu, mazhab fikih merupakan salah satu kreasi Tradisionalis. Tujuan pembentukan mazhab fikih berarti hanya ahli fikih yang memiliki wewenang menetapkan kebaikan atau keburukan suatu tindakan atau perilaku. Penetapan tersebut didasarkan pada dua tahap keputusan, yaitu keputusan pribadi para ahli hukum dan keputusan bersama ahli hukum (ijmak).

Menurut George Abraham Makdisi dalam The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West, dobrakan pertama ulama fikih dari kaum Tradisionalis adalah menguasai lembaga peradilan dengan menjadi hakim (qadhi). Dobrakan kedua ke dalam pemerintahan adalah menguasai bidang notariat yang merupakan salah satu bidang garapan para ahli fikih yang khusus mendalami seni kenotarisan.

“Gebrakan ketiga adalah menguasai jabatan diplomatis sebagai duta negara. Dalam posisi inilah ahli hukum sangat dibutuhkan karena mereka berpengalaman dalam tradisi debat,” tulis Makdisi.

Kaum Tradisionalis menemukan wahana yang tepat untuk mengembangkan kefasihan berbahasa (balaghah) dan menyampaikan pesan moralnya. Wahana tersebut adalah pidato propaganda yang berakar kuat pada strategi penyebaran dakwah yang dilakukan Nabi.

Genre kesusastraan ini digunakan di Baghdad oleh ahli fikih, ahli hadis, dan para sufi. Perkembangan genre ini secara akademis dimulai oleh seorang ahli fikih dan sufi bermazhab Hanbali yang hidup pada abad ke-10, Ibn Sam'un.

Sumber: Pusat Data Republika

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement