Oleh: Imanuddin Kamil
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Khalifah Umar RA memang seorang pemimpin brilian. Pilihannya menjadikan momentum hijrah sebagai awal penanggalan kalender Hijriyah patut diapresiasi sebagai ide cerdas dan orisinal. Ini berkah buat sejarah umat Islam.
Sebagaimana disebutkan Ismail al-Faruqi dalam bukunya, Hijrah Modern, peristiwa hijrah merupakan titik balik dari sejarah dunia, langkah awal paling menentukan dalam menata masyarakat Muslim yang berperadaban. Bagaimana umat Islam yang sebelumnya menjadi umat yang terintimidasi, mustadh'afin mampu keluar dari kesulitannya dan dalam tempo yang singkat menjelma menjadi sebuah kekuatan baru.
Dalam konteks ini, Umar berhasil melanggengkan volume progres hijrah tersebut dalam putaran waktu. Bahkan, dia berhasil mewariskan aura dan spirit hijrah itu kepada generasi berikutnya di sepanjang masa. Hampir di setiap pergantian tahun Hijriyah, kita diingatkan dengan sejarah hijrah yang memberdayakan itu.
Sementara, sisi orisinalitas idenya terletak pada kekhasan mengambil momentum. Umar RA tidak mau terjebak dalam budaya ikut-ikutan, meniru (tasyabbuh) dengan umat lain. Karena itu, tawaran untuk menjadikan awal penanggalan dimulai dari kelahiran nabi, bi'tsah, atau Isra Mi'raj tidak dipilihnya. Sebabnya, dikhawatirkan adanya kultus dan budaya pengagungan hari. Selain itu, dalam pandangannya, semua peristiwa itu hanya sekadar memberi nuansa psikologis atau sebatas bernostalgia.
Berbeda dengan momentum hijrah yang kaya secara filosofis, sarat makna, dan nilai. Dalam hijrah terdapat aksi ('amal), perjuangan (jihad), pengorbanan (tadhiyyah), pergerakan (harakah), harapan (amal), dan masa depan (mustaqbal).
Jika dicermati, anasir-anasir tersebut merupakan unsur-unsur penting bagi sebuah keberdayaan. Untuk menjadi berdaya dan kuat, paling tidak ada lima syarat harus terpenuhi. Dan, kelima syarat itu berkumpul dalam sebuah masterpiece kebangkitan, bernama hijrah.
Pertama, keberdayaan membutuhkan aksi nyata, bukan sekadar angan-angan. Dan, berbuat dalam kondisi keterpurukan menjadi modal besar yang membawa pada keberdayaan. Setidaknya, itulah yang bisa kita rekam dari aksi hijrah Rasulullah SAW dan para sahabat dari Makkah ke Madinah. Hijrah mereka ibaratnya adalah terobosan besar bagi sebuah perubahan dari lemah menjadi kuat dan berdaya. Sebab, Allah SWT akan membukakan pintu peluang yang banyak menuju keberdayaan. (QS an-Nisa: 100).
Kedua, untuk menjadi berdaya butuh perjuangan. Dan, hijrah adalah sebuah perjuangan. Tengoklah perjalanan hijrah Rasulullah SAW yang penuh dengan mara bahaya. Perjalanan yang mempertaruhkan jiwa raga. Namun, itulah harga yang harus dibayar untuk sebuah keberdayaan yang diimpikannya di Madinah. Dalam Alquran, Allah SWT menggandengkan hijrah dengan jihad secara beriringan di banyak ayat, salah satunya surah al-Baqarah ayat 218.
Ketiga, keberdayaan juga menuntut adanya pengorbanan. Mereka kaum Muhajirin telah berkorban banyak demi hijrah ini. Mengorbankan harta, keluarga, kerabat, cinta tanah air, dan sebagainya. Sejarah mencatat bagaimana hijrahnya Shuhaib bin Sinan yang harus menebus dirinya dengan hartanya demi hijrah. Allah pun mengabadikannya dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 207.
Keempat, agar berdaya kita harus bergerak. "Fil harakah barakah," dalam bergerak ada keberkahan. Bergerak berarti berusaha, berupaya sebagai wujud dari ikhtiar manusia. Itulah salah satu pelajaran penting dari hijrah Rasulullah SAW, yaitu al-akhdzu bil asbab.
Kelima, keberdayaan muncul dari keyakinan akan harapan dan masa depan gemilang. Inilah kekuatan optimisme dalam hidup. Tidak ada motivasi yang menggerakkan keberdayaan secara luar biasa selain himmah (tekad) dan cita-cita yang menggelora.
Semoga spirit hijrah di Tahun Baru 1437 H ini mampu membawa umat pada keberdayaan. Wallahu a'lam bishawab.