Rabu 21 Oct 2015 12:39 WIB

HSN Proses Politik yang Luar Biasa

Rep: bowo pribadi/ Red: Damanhuri Zuhri
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj (tengah) didampingi Sekjen PBNU Helmi Faisal Zaini (kanan) dan Perwakilan ormas Islam Al-Wasliyah KH Al-Zulfi memberikan penjelasan pada acara Konperensi pers Menyambut Hari Santri 22 Oktober, di Jakarta, Selasa (6/10).
Foto: Republika/Darmawan
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj (tengah) didampingi Sekjen PBNU Helmi Faisal Zaini (kanan) dan Perwakilan ormas Islam Al-Wasliyah KH Al-Zulfi memberikan penjelasan pada acara Konperensi pers Menyambut Hari Santri 22 Oktober, di Jakarta, Selasa (6/10).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Hari Santri Nasional (HSN) patut diapresiasi. Karena HSN ini menjadi sebuah wujud politik yang luar biasa. Bahkan ini menjadi wujud nasionalisme yang didukung 100 persen kalangan santri.

 

Hal ini ditegaskan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menanggapi rangkaian pelaksanaan peringatan HSN yang bakal dipusatkan di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (22/10).

 

Menurut Ganjar, HSN juga menjadi sebuah pengakuan. Yakni pengakuan terhadap kiprah para santri untuk menjadi bagian penting perjuangan bangsa Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 

Dengan pengakuan ini, ia berharap santri akan lebih produktif bisa berbuat lebih banyak bagi NKRI, sesuai dengan ikrarnya yang akan terus mempertahankan keutuhan NKRI dan Pancasila. “Ini merupakan modal sosial yang besar untuk menghadapi tantangan dunia dan umat Islam yang lebih global,” tegasnya.

 

Sekjen Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama (NU), Helmi Faizal Zaini saat di Semarang mengatakan, HSN mengusung makna untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme di kalangan para santri maupun kiai.

 

Sehingga di dalamnya juga mencakup unsur- unsur kegiatan bela negara. Menurutnya penanaman bela negara di kalangan santri sudah diberikan sejak mereka masuk pondok pesantren.

 

Jika pada masa awal kemerdekaan bangsa ini, jihad para santri untuk melawan penjajahan seperti Belanda, Jepang dan sekutu. Sekarang ini jihadnya adalah membangun nasionalisme melawan radiklaisasi atas nama agama.

 

Salah satu tokoh NU Kabupaten Semarang, KH  Ahmad Fauzan menambahkan, tidak bisa dipungkiri santri banyak berperan dalam perjuangan untuk melahirkan bangsa Indonesia.

 

Kiai Fat –panggilan KH Ahmad Fauzan bahkan menyebut budaya santri (budaya pesantren) merupakan cikal bakal pendidikan di Indonesia. Sebelum ada sekolah yang dibangun Belanda, pesantren dengan santri-santrinya inilah yang menjadi ujung tombak pendidikan di negeri ini.

 

Sehingga pesantren dan santri tidak bisa lepas dari pendidikan bangsa ini, meski dalam lingkup kecil di desa-desa. “Pemimpin kita dulu saja, banyak yang tumbuh dari pesantren,” katanya.

 

Ia mencontohkan pesantren Kiai Soleh Darat yang ada di Semarang. Tidak sedikit santrinya menjadi tokoh pejuang Indonesia, seperti KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadyah, KH Hasyim Asyari tokoh pendiri Nahdlatul Ulama. “Bahkan pahlawan emansipasi wanita, RA Kartini juga merupakan santriwati pertama KH Soleh Darat.”

 

Meski begitu ia juga mengamini sebangai lembaga untuk pendidikan rakyat, pesantren pada masa orde baru justru tidak pernah diakui oleh pemerintah. Padahal banyak tokoh di daerah merupakan lulusan pesantren.

 

Oleh karena itu, Hari Santri Nasional akan menghapus diskriminasi yang tumbuh selama masa orde baru. “Di mana santri tidak mendapatkan kesempatan sama dengan mereka yang mengenyam pendidikan umum,” tambah Kiai Fat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement