REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menegaskan bahwa Hari Santri adalah hari dari resolusi ulama bahwa cinta Tanah Air atau membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah wajib.
"Hadratussyeikh KH Hasyim Asy'ari dan para ulama telah menetapkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang intinya adalah fatwa tentang membela Tanah Air," katanya dalam pelepasan Kirab Hari Santri Nasional (KHSN) dari pelataran Tugu Pahlawan Surabaya, Ahad (18/10).
Dalam acara yang diawali dengan jalan sehat seribu santri bertajuk "Sarung Fun Run" dari Kantor PCNU Jalan Bubutan ke Tugu Pahlawan itu, ia menjelaskan fatwa KH Hasyim Asy'ari dan kawan-kawan adalah membela Tanah Air merupakan "jihad fi-sabilillah" yang hukumnya "fardhu ain" (kewajiban individual).
"Jadi, kalau ada yang nggak setuju dengan Hari Santri itu ya biar saja, gak patheken, karena santri dalam konteks Hari Santri adalah jiwa patriot. Buktinya ada 12 ormas yang mendukung Hari Santri, bukan hanya NU," katanya.
Selain itu, Hari Santri bukan berasal dari gagasan kalangan NU, melainkan murni dari gagasan Presiden Joko Widodo saat kampanye Pilpres 2014 di Malang bahwa dirinya akan menetapkan Hari Santri pada 1 Muharram jika dipercaya menjadi Presiden.
"Setelah terpilih, Presiden Jokowi mengulangi gagasannya itu pada saat menghadiri Munas NU, namun saya katakan bahwa Hari Santri itu sebaiknya bukan tanggal 1 Muharram, karena 1 Muharram adalah Tahun Baru Islam milik Muslim se-dunia," katanya.
Akhirnya, PBNU mengusulkan Hari Santri ditetapkan pada tanggal 22 Oktober terkait dengan fatwa bela negara dalam Resolusi Jihad, kemudian Presiden meminta Menteri Agama untuk membahas bersama PBNU.
"Akhirnya, kami mengadakan seminar hingga diputuskan tanggal 22 Oktober itu," katanya dalam acara yang juga dihadiri Wakil Ketua Umum PBNU Slamet Effendy Yusuf dan Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini.