Oleh: Ina Salma Febriany
Tahun baru hijriah sudah nampak di hadapan kita. Momen pergantian tahun baru Islam ini disambut suka cita. Selain suka cita yang menggelora, ada beberapa insan yang berduka.
Duka darurat asap di belahan bumi Indonesia yang tak kunjung mereda, juga berduka karena banyaknya nista dan dosa. Ya, sudah sepatutnya kita menyedihkan keduanya; terutama menangisi sesuatu yang sempat kita anggap kurang bermakna.
Kurangnya pemaknaan itu tercermin dari nikmat sehat yang terkadang lupa disyukuri, nikmat iman yang terkadang diabaikan, dan nikmat islam serta usia dan rezeki yang terkadang masih saja kita anggap kurang berarti. Maka, saat pergantian tahun inilah sering kita manfaatkan untuk bermuhasabah, menghitung nikmat-nikmat Illahi, dan meletakkan landasan untuk melangkah ke depan.
Pergantian tahun hijriah juga bisa menjadi momentum untuk memaknai peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW. beserta kaum Mukminin waktu itu. Setelah 13 tahun berdakwah di Makkah penuh dengan tekanan dan siksaan, perintah Hijrah dari Allah SWT menjadi titik balik bagi Islam dan kaum Muslimin. Hijrah mereka ke Madinah menjadi kunci perkembangan pesat islam dan kemenangan.
Gambaran hijrah Rasul dengan para sahabatnya dalam konteks sejarah ayat di atas ternyata sarat dengan nilai perjuangan, pengorbanan, kepeduliaan terhadap sesama, kesabaran dan persaudaraan (ukhuwah) yang melebihi batas kekeluargaan dan kekerabatan karena direkat dengan ikatan akidah.
Nilai luhur ini merupakan nilai universal yang berlaku sepanjang zaman pascasabda Rasulullah SAW tentang hijrah: “Tidak ada hijrah setelah pembebasan kota Makkah, selain jihad dan niat”. (H.R. Bukhari). Justru ujian nilai hijrah akan tetap menjadi neraca ketulusan dan kualitas iman seseorang dengan sebuah jaminan bahwa hijrah yang diperintahkan Allah tidak ada lain adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama.
Allah berfirman menjelaskan jaminan-Nya: “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An-Nisa’: 100).
Secara tekstual, hijrah dalam surah di atas ialah hijrah dalam berperang melawan kaum kuffar karena Allah. Maka dalam konteks kekinian, hijrah bersifat makro; tak hanya berperang melawan orang-orang yang memusuhi Islam, namun juga hijrah melawan diri sendiri.
Diri sendiri adalah musuh yang nyata bagi kita. Penyakit-penyakit sombong yang membawa virus membahayakan semacam iri hati, dengki, dendam, saling menghasut, harus sirna dari dalam diri agar hijrah semakin diridhai. Semoga Allah memudahkan langkah kita untuk berhijrah ke arah yang lebih baik. Aamiin