Selasa 13 Oct 2015 18:01 WIB

Wajah Konstantinopel di Era Ustmani

Istanbul, Turki
Foto: Google
Istanbul, Turki

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dinasti Usmani juga terus mengepakkan sayap kekuasaannya ke wilayah Mesir, Arabia, dan Syiria. Yang tak kalah pentingnya, kerajaan Usmani menyebarkan ajaran Islam hingga ke kawasan Balkan. Seiring dengan menancapnya dominasi Islam, wajah bekas Kota Konstantinopel itu pun berganti rupa.

Bangunan masjid bermunculan, namun tetap dengan corak arsitektur Bizantum yang khas. Tak heran, jika pengaruh Bizantium ikut mewarnai gaya arsitektur Islam di Turki. Kemegahan bangunan Gereja Aya Sofia banyak mewarnai arsitektur masjid di Istanbul.

Di bawah kekuasaan Daulah Usmani, Istanbul terus berbenah. Pembangunan pun terus berlanjut sepeninggal Sultan Muhammad (Mehmed) II. Pada era kepemimpinan Sultan Sulaiman I (1520-1566), pada tahun 1550, di Istanbul berdiri Masjid Sulaiman. Bangunan masjid itu berdiri kokoh dengan empat menara dan kubahnya lebih tinggi dari Aya Sofia.

Guna menambah jumlah penduduk Muslim di Istanbul, umat Islam yang tinggal di Anatolia dan Rumeli dianjurkan untuk bermigrasi ke Istanbul. Akhir 1457, migrasi besar-besaran terjadi dari Edirne bekas ibu kota Kerajaan Turki Usmani ke Istanbul.

Pada 1459, kota terbesar di Eropa itu dibagi menjadi empat wilayah administratif. Sebagai sebuah kota besar pada zamannya, di Istanbul pun berdiri berbagai sarana dan prasarana publik. Tak kurang ada 81 masjid besar serta 52 masjid berukuran sedang di kota itu. Untuk mendidik para generasi muda, tersedia 55 madrasah, tujuh asrama besar untuk mempelajari Alquran. Fasilitas sosial pun bermunculan, tak kurang lima takiyah atau tempat memberi makan fakir miskin berdiri.

Tiga rumah sakit disediakan untuk mengobati penduduk kota. Tujuh buah jembatan juga dibangun untuk memperlancar arus transportasi. Guna menunjukkan kejayaannya, Kerajaan Usmani membangun 33 istana dan 18 unit pesanggrahan.

Selain itu, 33 tempat pemandian umum juga telah disediakan di berbagai penjuru kota. Untuk menyimpan benda-benda bersejarah, pemerintah Usmani pun menyediakan lima museum. Pada 14 Juli 1509, Istanbul sempat diguncang gempa bumi dahsyat atau yang dikenal sebagai ‘kiamat kecil’.

Ribuan bangunan yang awalnya berdiri kokoh akhirnya luluh lantak. Mulai 1510 M, Sultan Bayezid bahu-membahu membangun kembali Kota Istanbul selama 80 tahun. Hingga akhirnya, Kota Istanbul kembali tampil megah dan gagah.

Pada tahun 1727 M pada masa Ibrahim Muteferika seorang ilmuwan terkemuka di Istanbul dibuka percetakan. Seiring dengan lahirnya fatwa dari Syekh Al-Islam kerajaan, buku-buku selain Alquran, hadits, fikih, ilmu kalam dan tafsir juga mulai diperbolehkan untuk dicetak.

Sejak itulah, buku-buku tentang kedokteran, astronomi, ilmu pasti,sejarah, dan lainnya  dicetak, apalagi mulai 1727 sudah mulai berdiri badan penerjemah. Sayangnya, ketika Imperium Turki Usmani memegang kendali kekuasaan, jejak peradaban yang ditinggalkan pada abad ke-8 M sampai ke-13 M tak dilanjutkan.

Daulah Usmani lebih berkonsentrasi membangun pertahanan dan armada perang untuk memperluas wilayah kekuasaan ketimbang membangun universitas dan pusat-pusat riset ilmu pengetahuan. Seiring kemunduran yang dialami Kerajaan Ottoman, Turki akhirnya berubah haluan menjadi negara sekuler pada 1923.

Di bawah kepemimpinan Kemal Attaturk, sekularisme menjadi ideologi negara. Semua simbol Islam dilarang, penggunaan bahasa dan aksara Arab diganti huruf Latin. Dakwah diawasi. Bahkan, pada 1925, Attaturk melarang tarekat dan pergi haji. Pendidikan agama amat dibatasi. Pengadilan agama ditutup, hukum pernikahan Islam diganti dengan hukum positif Swedia.

 

Sumber: Pusat Data Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement