REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Terlepas dari beberapa perdebatan seputar Islam Nusantara atau Islam Indonesia, praktik-praktik keagamaan yang ditopang oleh dua ormas besar di Indonesia mampu menjaga kedamaian dan toleransi dengan umat beragama lain.
"Ormas-ormas Islam berpotensi besar, dan sudah seharusnya, berperan lebih aktif dalam menyuarakan model ke-Islam-an Indonesia, untuk mendukung perdamaian dunia dan mengubah persepsi negatif tentang Islam, khususnya di negara-negara Barat," ungkap cendekiawan Muslim Prof Azyumardi Azra dalam International Conference on Southeast Asian Islam: Promoting Moderate Understanding of Islam, Kamis (8/10).
Lebih lanjut, Prof Azyumardi merunut perjalanan sejarah Islam di Indonesia sehingga menampilkan corak beragam seperti sekarang. Menurut dia, setelah diterima masyarakat Nusantara, Islam mengalami proses akulturasi dengan budaya setempat. Gerakan pembaharuan muncul kemudian untuk mengembalikan corak ortodoksi.
Ia mencatat, ada tiga gelombang besar pembaharuan Islam di Indonesia, yaitu pada abad 17-18, abad 19, dan abad 20. Gagasan ini kebanyakan disuarakan oleh para ulama sekembalinya belajar dari Makkah-Madinah. Pada gelombang terakhir, pembaharuan tidak hanya digerakkan oleh individu, tetapi juga organisasi keagamaan. Sebut saja, Muhammadiyah dan NU.
Azyumardi berpendapat, di tangan ormas-ormas Islam inilah, Islam Nusantara menemukan warna moderat dan inklusif, tapi tetap menjaga ortodoksi.
Senada, Prof Noorhaidi Hasan dari UIN Yogyakarta juga melihat peran penting ormas Islam sebagai bagian dari kelompok sipil. Meminjam istilah post-Islamist, Noorhaidi meyakini kekuatan ormas dalam membendung pengaruh kaum Islamis yang ia sebut cenderung menggunakan kekerasan dalam perjuangannya.
Strategi diplomasi dan soft power memiliki peran tidak kalah penting dalam mempromosikan Islam Indonesia ke kancah internasional. Pendekatan inilah yang disarankan Prof James B. Hoesterey untuk mempromosikan Islam Indonesia.
"Ada statistik di AS, kurang lebih 50 persen orang di AS belum pernah berjumpa dengan Muslim. Menurut saya, itu kesempatan emas untuk program people to people diplomacy," tambah peneliti asal Emory University, AS ini.