REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Komaruddin Hidayat
Di samping prosesi ibadah haji merupakan kewajiban agama untuk dipenuhi, sesungguhnya di balik ritual haji yang sarat simbol itu tersimpan banyak sekali pesan sosial untuk diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Secara esensial dan fungsional, berbagai pesan dan sasaran ibadah haji ialah agar kita menang (menundukkan nafsu) dalam pergulatan hidup sehari-hari sehingga meraih makna dan prestasi hidup yang sejati.
Sebagai contoh, di antara pesan ibadah haji ialah agar seorang Muslim menumbuhkan etos pengorbanan. Itulah sebabnya hari raya haji juga disebut sebagai Hari Raya Kurban (Idul Adha). Terdapat petunjuk yang begitu kuat bahwa masyarakat kita dilanda krisis semangat pengorbanan. Sebaliknya, yang ada adalah semangat untuk mengambil (to take) bukannya memberi (to give). Lebih parah lagi kalau yang diambil itu adalah sesuatu yang bukan hak miliknya.
Figur utama dalam sejarah haji adalah Nabi Ibrahim AS. Secara dramatis Nabi Ibrahim memberi contoh bahwa pengorbanan yang pertama dilakukan ialah membunuh berhala, dalam bentuk mencintai anaknya sendiri. Jangan sampai cinta pada anak menutupi hatinya untuk mencintai Tuhan dan sesama manusia.
Bukankah cukup banyak contoh bahwa cinta anak secara berlebihan, lebih-lebih jika ia seorang penguasa, membuat rasa keadilan dan kemanusiannya cenderung tumpul? Berapa banyak hak milik orang lain diambil secara tidak sah oleh orang yang sedang memegang kekuasaan (besar ataupun kecil), karena didorong oleh cinta pada anak secara tidak proporsional?
Mungkin sekali, cerita pengorbanan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya mengandung pesan pembebasan dari perilaku korup dan serakah seperti itu.