REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sekembalinya ke tanah Minang, Syekh Tahir Jalaluddin Al-Azhari dihadapkan pada perseteruan antara kelompok tua yang masih memegang tradisi dan ritual nenek moyang dengan kelompok muda yang berpikir pembaharu.
Syekh Tahir yang merupakan bagian dari kelompok muda mendapatkan pertentangan. Ia dianggap tidak sesuai dengan tradisi karena memulaikan puasa dengan memakai ilmu hisab dan ilmu falak, bukan rukyah seperti ulama terdahulu.
Namun, ia tetap memantapkan pendiriannya dengan tetap memperdalam ilmu falak dan astronomi. Syekh Tahir kemudian memilih mengembara ke beberapa wilayah di tanah melayu. seperti Minangkabau, Riau hingga wilayah Singapura dan Kelantan.
Beberapa jejak perjalanannya diantaranya, ia menginjakkan kakinya di Singapura pada 20 Mei 1888, di Kesultanan Riau pada 1892 dan di Penang, Malaya pada 1899.
Ketika ia di Riau ia bertemu dengan Raja Muhammad Tahir Hakim bin Al-Marhum Mursyid seorang Hakim dari Kesultanan Riau. Ia pun disarankan untuk tinggal di pulau Penyengat dan mempelajari kitab falak berjudul At-Thal'us Said.
Dari Penyengat, Syeikh Tahir kembali ke Singapura. Kemudian dengan menumpang sebuah kapal layar ia menuju ke Siantan, Kepulauan Anambas terjauh di Kepulauan Riau kini, bersama Syeikh Muhammad Nur bin Syeikh Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi.
Pada 24 November 1903, Syeikh Tahir juga pernah sampai ke Surabaya bahkan hingga singgah di Buleleng dan Ampenan, Bali. Pada 28 November 1903, ia sampai di Pulau Sumbawa. Syeikh Tahir Jalaluddin kemudian berhenti di rumah Tuan Qadhi Haji Muhammad Saleh.
Sultan Muhammad Jalaluddin ibni Sultan Muhammad Daimuddin, Sumbawa, meminta supaya ia tinggal di Sumbawa. Pada 23 Februari 1904, Syeikh Tahir dari Sumbawa menuju ke Bima.
Setibanya di Bima, ia berhenti di rumah Imam Haji Thalib dan mengadap Sultan Ibrahim bin Sultan Abdullah bin Sultan Ismail bin Sultan Abdul Hamid.
Perjalanannya kemudian berlanjut dari Bima menuju ke Makasar. Sampai di Makasar pada 16 Maret 1904 ia berhenti di rumah Haji Ahmad Rifa'ie dan berkenalan dengan Haji Muhammad Saleh Palembang dan Raden Haji Abdul Ghani Palembang. Ia kemudian menuju ke Gowa menemui Haji Daud Daeng Manabi' bin Yusuf.
Kemudian, ia menghadap Sultan Husein bin Sultan Idris bin Sultan Abdul Qadir bin Al-Amir Mahmud Gowa. Perjalanan dan pengembaraannya ini menegaskan peran dan kiprahnya di tanah Melayu dan N.
Selain itu relasi dengan banyak ulama nusantara pun semakin memperdalam ilmu lain, selain ilmu falak. Ia pernah bersama Sheikh Mohamed Salim al-Kalili, Haji Abbas Mohamed Tahar dan Syed Syaikh al-Hady, mendirikan majalah Majalah al-Imam pada tanggal 23 Juli 1906.
Kemudian, ia juga banyak memberikan kontribusi tulisan serta kitab, terutama karangannya mengenai ilmu falak dan astronomi dengan matematika modern. Diantaranya, Nukhbatu al-Taqrīrāt fī Hisāb al-Awqāt wa Sumūt al-Qiblat bi al-Lūgārītmāt atau dalam bahasa melayu, Pati Kiraan pada Menentukan Waktu yang Lima dan Hala Kiblat dengan Logaritma.
Selain itu, Natījat al-Umur, Jadāwil al-Lūgārītmāt dan Al-Qiblah fī an-Nusus Ulamā' asy-Syafi'iyah fi ma Yata'allaqu bi Istiqbāl al-Qiblah asy-Syar'iyah Manqulah min Ummuhat Kutūb al-Mazhab.
Ia meninggal dunia di Kuala Kangsar, Perak, Malaysia pada Jumat, 22 Rabiulawal 1376 H/26 Oktober 1956 M. Ia terkenal pada masa itu sebagai tokoh astronomi Islam yang sangat berpengaruh, sejajar dengan Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabau, Ahmad Rifa’i Kalisalak dan KH Sholeh Darat.
Di Malaysia peranan Syeikh Tahir Jalaluddin dalam pengembangan kajian astronomi Islam juga sangat besar. Untuk mengenang jasa beliau didirikan Pusat Falak Syeikh Tahir di Balik Pulau Pantai Aceh, Pulau Pinang Malaysia. Tokoh lain yang berjasa dalam pengembangan kajian astronomi Islam di Malaysia.