REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Komaruddin Hidayat
Memasuki kota Makkah atau Madinah untuk yang pertama kalinya hati pasti tergetar. Tidak mampu menahan air mata, rasa syukur, kagum, tidak percaya, bahwa akhirnya akan tercapai juga untuk memenuhi rukun Islam yang kelima yang puluhan tahun didambakan.
Begitu masuk Masjidil Haram melihat Ka’bah, subhanallah….lidah sulit untuk mengekspressikan perasaan dan pikiran kecuali memuji Allah dengan disertai linangan air mata. Muncul perasaan bahwa Masjidil Haram adalah batas akhir dunia, namun juga belum masuk alam akhirat. Ada perasaan berada di wilayah perbatasaan antara dunia dan akhirat.
Dengan pakaian ihram, tak ubahnya kain kafan, seakan kita sudah jadi mayit memasuki orbit akhirat, namun juga sadar bahwa kita masih di dunia. Seseorang tidak membawa apa-apa, kecuali kain kafan dan rekaman amal perbuatannya selama hidup. Makanya berbahagialah mereka yang sepulang haji melakukan transformasi diri, sebuah pertobatan untuk menemukan kembali kefitriannya.Antara lain dengan melunasi semua utangnya: utang pada negara, masyarakat, keluarga dan pada Tuhan.
Haji tidak menjamin terhapusnya dosa-dosa kita, terlebih lagi dosa sosial. Berhaji tidak bisa menghapus perkara perdata dan pidana. Tetapi berhaji bisa menjadi momentum penyadaran diri untuk melakukan pertobatan dan perbaikan diri. Sekian banyak pesan moral haji realisasinya bukan di Makkah-Madinah, melainkan dalam panggung kehidupan sehari-hari setiba di Tanah Air.