REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Umat Islam di Indonesia yang menerima Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional dinilai sebagai puncak dari pengembangan teologi kerukunan beragama.
"Dari proses penerimaan Pancasila, jelas terlihat para pemimpin Islam lebih mementingkan kerukunan dan integrasi nasional daripada kepentingan Islam atau umat Muslim belaka," kata cendekiawan Muslim Prof Azyumardi Azra dalam orasi ilmiahnya di acara Sarwono Memorial Lecture (SML) LIPI, Kamis (20/8).
Azyumardi mengatakan, dalam konteks hubungan antaragama di Indonesia, Pancasila merupakan perwujudan dari panggilan mengembangkan kalimatun sawa atau common platform atau ketetapan yang sama antaragama. Islam sendiri, lanjutnya, sangat menekankan para penganutnya untuk mengembangkan kalimatun sawa dengan penganut agama lain.
Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah itu mengatakan, dalam perspektif mayoritas muslim Indonesia, penerimaan Pancasila merupakan hadiah terbesar bagi kesatuan dan keutuhan Indonesia. Pancasila dianggap sebagai pemersatu Indonesia yang majemuk dari segi agama, suku, adat, dan lain-lain.
Meski begitu, pascakemerdekaan, konflik antaragama tetap menjadi ganjalan dalam kehidupan keagamaan yang toleran dan harmonis di Indonesia. Azyumardi menyebutkan, konflik demi konflik keagamaan yang keras antar umat muslim dan kristiani terus meningkat kala itu.
Berbagai upaya pun terus dilakukan pemerintah, salah satunya dengan menyelenggarakan dialog antaragama. Dialog seperti ini kemudian menemukan momentum terkuatnya pada masa Menteri Agama Mukti Ali tahun 1970-an.
Mukti, kata Azyumardi, menghidupkan kembali Wadah Musyawarah Antaragama dengan melibatkan lebih banyak tokoh dan pemimpin agama.
Di bawah pimpinan Presiden Soeharto, dialog antaragama melibatkan lembaga berupa majelis agama, yakni Majelis Ulama Indonesia, Persatuan Gereja di Indonesia, Konperensi Waligereja Indonesia, Parisadha Hindu Dharma, dan Perwalian Umat Buddha Indonesia.
"Dialog-dialog antaragama ini kemudian disertai kebijakan mencegah terjadinya konflik yang bersumber dari SARA (suku, agama, ras, antar golongan). Dengan demikian, konflik antaragama dapat ditekan ke tingkat minimal," ujarnya.