REPUBLIKA.CO.ID, JOMBANG -- Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) yang berlangsung di Jombang, Jawa Timur, dicurigai terjadi politik uang yang diberikan sebagai salah satu persyaratan agar muktamirin menyetujui gagasan panitia untuk menerima konsep "Ahwa".
"PBNU mengatakan Ahwa diadakan untuk menghindari politik uang, justru Ahwa jadi komoditas. PCNU yang menyetujui akan ditawari Rp15-25 juta per suara," kata Mantan Ketua PBNU periode 1999 hingga 2010 Andi Jamaro Dulung kepada wartawan di Jombang, Ahad (2/8).
Ia mengaku sangat prihatin dengan kondisi tersebut. Konsep Ahwa ternyata dimanfaatkan sekelompok orang untuk mencederai kegiatan muktamar. Padahal, seharusnya kegiatan muktamar ini bisa berjalan dengan tertib dan lancar.
Ia yakin, di NU masih banyak pengurus yang mementingkan moralnya dengan tidak tergoda menerima tawaran sejumlah uang. Mereka akan mengkaji kembali konsep pemilihan itu, sebab tidak sesuai dengan aturan, di mana untuk memih Rais Am Syuriah (Ketua Umum Dewan Syuro) PBNU dipilih secara langsung.
Ia juga juga mengaku sudah lima kali mengikuti Muktamar NU, namun yang kegiatannya sangat mengecewakan terjadi di Jombang. Selain karena masalah teknis, juga terdapat sejumlah persolan yang sampai saat ini belum tuntas dan terkesan dipaksakan salah satunya tentang konsep Ahwa.
Menurut dia, konsep Ahwa memang sempat dibahas dalam sejumlah pertemuan yang diselenggarakan oleh PBNU. Hal itu diawali ketika sebelum Muktamar di Lombok. Dalam pertemuan itu juga sudah ditawarkan tentang konsep Ahwa, namun saat itu pengurus wilayah mayoritas menolak Ahwa, namun panitia mengatakan menerima.
Hal yang sama juga terjadi saat di Makassar, di mana terdapat 10 provinsi yang menolak Ahwa, tapi oleh panitia justru dikatakan menerima. Pra-muktamar di Medan, terdapat sejumlah rais syuriah PWNU juga ada yang menolak konsep itu, tapi di rilis yang diberikan menerima Ahwa.
Hal itu juga berlanjut saat musyawarah nasional di Jakarta, di mana ternyata juga membahas konsep Ahwa. Hasil itu juga dijadikan sebagai rujukan hingga konsep itu juga dilakukan saat Muktamar ke-33 di Jombang.
Ia mengatakan, panitia sudah bertindak tidak adil pada peserta dan dinilai ada ketidaknetralan. Hal itu terlihat dari kartu yang diberikan pada peserta, di mana yang menyerahkan formulir Ahwa mendapatkan kartu dengan kode atau barcode, sementara yang tidak menyerahkan formulir Ahwa diberi kartu tanpa ada barcode.
"Registrasi juga dibuat seperti itu, yang setuju Ahwa ada kartu lengkap dengan 'barcode', dan yang tidak setujui diberi kartu saja," ungkapnya.
Sementara itu, Panitia SC Muktamar NU KH Slamet Effendi Yusuf menampik jika ada perbedaan dalam menerima muktamirin. Baik mereka menyerahkan nama Ahwa atau tidak, panitia tetap menerima pendaftaran mereka.