REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia bertekad untuk memperkuat cita-cita menjadi khadimul ummah dan shadiqul hukumah atau pelayan umat dan mitra pemerintah di usia yang kini memasuki 40 tahun. Berdiri sejak 26 Juli 1975, MUI menjalani beberapa periode yang turut mempengaruhi wajah lembaga musyawarah ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim itu.
"MUI dituntut perannya untuk lebih aktif, dinamis, dan konstruktif menjadi perekat umat Islam," kata Ketua Umum MUI Din Syamsuddin dalam Tasyakur Milad ke-40 MUI di Jakarta pada Senin (27/7) malam.
Tasyakur sekaligus ajang halal bi halal usai Idul Fitri 1436 Hijriyah itu dihadiri segenap pimpinan MUI, Menteri Agama, pimpinan ormas, perwakilan tokoh lintas agama, dan Duta Besar negara-negara Islam. Para tamu berkumpul mengelilingi meja bundar di ruang pertemuan lantai 4 Kantor MUI dengan penuh kehangatan dan diselingi candaan-candaan dari para perwakilan tokoh yang memberikan ucapan resmi di mimbar.
Din menyatakan, usia 40 tahun cukup spesial bagi MUI. Ia pun mengutip istilah barat "life begins at 40" atau berarti hidup dimulai pada umur 40. Dalam sejarah Islam pun usia Rasulullah SAW ketika menerima wahyu pertama kali juga pada umur 40 tahun.
"40 adalah usia kematangan dan kedewasaan," ujarnya.
Din lantas mengenang perjalanan MUI sejak awal didirikan empat dasawarsa lampau. Ia menyebut, MUI pada periode pertama atau sejak didirikan hingga reformasi kental dengan wajah sebagai pelayan pemerintah. Setelah reformasi, MUI lantas bertransformasi menghadapi kritik zaman dengan mengukuhkan diri sebagai pelayan umat.
Meski begitu, Din menyadari untuk menyelesaikan masalah umat yang begitu besar perlu ada sinergi dengan banyak pihak termasuk pemerintah. "MUI menganggap semua pihak sebagai mitra strategis karena masalah umat begitu besar dan butuh keikutsertaan banyak pihak. Atta'awun alal birri wat taqwa (Kerja sama dalam kebaikan dan ketakwaan)," ujar Din.
Din juga menyampaikan, sebagai shadiqul hukumah atau mitra pemerintah tidak menghalangi MUI untuk tetap beramar ma'ruf dan nahi munkar.
Din lantas menyerukan agar umat Islam yang merupakan mayoritas di Indonesia harus menjadi mayoritas kualitatif bukan hanya sekedar kuantitatif. "Umat Islam harus menjadi penentu masa depan Indonesia. Maju mundurnya Indonesia berkaitan dengan maju mundurnya umat Islam," ujar Din.