REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya Prof DR H Ahmad Zahro Lc MA menyarankan Kemendikbud untuk mematenkan Halalbihalal, karena sejumlah negara sahabat sudah mulai menjalankan tradisi itu.
"Ke depan, wisata religi akan berpotensi untuk berkembang di kawasan Asia, karena itu beberapa tradisi Islam Nusantara harus dipatenkan, termasuk Halalbihalal," katanya dalam Halalbihalal di Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya, Senin (27/7).
Menurut ahli Ushul Fiqih pada Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya itu, Halalbihalal dan beberapa tradisi Islam di Nusantara itu bukan "bid'ah" (ibadah yang tidak pernah dijalankan pada zaman Rasulullah).
"Ibadah itu ada yang bersifat ritual dan sosial, nah ibadah ritual itu bersifat dogmatik, karena jumlah, cara, dan waktunya sudah ditentukan, sehingga tidak bisa diubah, misalnya Shalat Subuh itu dua rakaat, Haji itu ke Tanah Suci, dan sebagainya," katanya.
Lain halnya dengan ibadah sosial atau muamalah yang sangat bergantung pada kreasi. "Misalnya, memaafkan atau meminta maaf yang diajarkan dalam Al Quran dan Hadits, tapi tidak ditentukan cara, waktu, dan jumlahnya," katanya.
Oleh karena itu, Halalbihalal sebagai tradisi untuk memaafkan dan meminta maaf itu bukan "bid'ah", karena bukan ibadah ritual yang dogmatik, melainkan ibadah sosial (muamalah) yang bergantung pada kreasi di tingkat lokal.
"Halalbihalal itu khas Indonesia dan tidak ada di negara lain, tapi akhir-akhir mulai dicontoh masyarakat di Malaysia, Brunei, dan sebagainya, karena itu Kemendikbud perlu segera mematenkan," katanya.
Dalam penelitian literatur yang dilakukannya, mantan Rektor Unipdu Jombang itu mengatakan Halalbihalal mulai ada pada tahun 1948 yang digagas Presiden Soekarno bersama KH Wahab Chasbullah (tokoh NU).
"Saat itu, para elite politik di Tanah Air banyak yang bertikai, lalu Presiden Soekarno meminta KH Wahab Chasbullah untuk merancang kegiatan untuk mempertemukan para elite politik itu," katanya.
Awalnya, KH Wahab Chasbullah mengusulkan Silaturahim Nasional, tapi Presiden Soekarno meminta dicarikan nama lain yang tidak biasa. "Akhirnya, munculnya Halalbihalal yang menjadi tradisi sampai sekarang," katanya.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mematenkan agar berbagai tradisi Islam Nusantara yang merupakan "branding" Indonesia itu tidak diakui negara lain. "Jangan sampai seperti tempe yang sudah dipatenkan negara lain," katanya.
Sementara itu, Rektor Ubhara Drs Edy Prawoto MHum mengharapkan Halalbihalal merupakan tradisi yang patut dikembangkan, karena hal itu merupakan kebaikan, apalagi Halalbihalal diawali dengan Puasa Ramadhan yang juga baik.
"Kalau Halalbihalal itu mengajarkan penghormatan kepada orang lain untuk saling memaafkan, sedangkan Ramadhan mengajarkan kebaikan untuk disiplin dan peduli kepada sesama," katanya.