Jumat 17 Jul 2015 12:26 WIB
Lebaran 2015

Makna Puasa Harus Tetap Diimplementasikan Setiap Harinya

Ibu dan anak mengikuti shalat Id di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, Jumat (17/7).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Ibu dan anak mengikuti shalat Id di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, Jumat (17/7).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah Tafsir mengatakan makna puasa yang dijalani umat Islam di bulan Ramadhan harus terimplementasi pada kehidupan konkret atau sehari-hari.

"Puasa di bulan Ramadhan itu melatih banyak dimensi kemanusiaan. Manusia itu kan punya dua kekuatan, yakni hati nurani dan hawa nafsu," katanya saat dihubungi dari Semarang, Jumat (17/7).

Merefleksikan makna puasa di bulan Ramadhan, ia mengatakan manusia dilatih untuk sadar akan kemanusiaannya untuk terus berada pada jalur kebaikan. Kekuatan hati nurani, kata dia, cenderung mendorong manusia berbuat ke arah yang baik, sementara hawa nafsu berkecenderungan mendorong manusia untuk berbuat sesuatu yang kurang baik.

Hawa nafsu tidak bisa dihilangkan, kata dia, makanya kekuatan hawa nafsu itu harus dilatih untuk dikekang, yakni melalui puasa yang wajib ditunaikan umat Islam di bulan Ramadhan. "Dengan kekuatan hawa nafsu yang berkecenderungan kurang baik itu diminimalisir maka kekuatan hati nurani menjadi lebih kuat. Dimensi-dimensi kemanusiaan manusia dilatih, minimal dimensi kejujuran," tegasnya.

Kalau yang sebelumnya emosinya meledak-ledak, kata dia, selama puasa emosinya dilatih untuk diredam, demikian pula yang sebelumnya suka berbohong, selama bulan puasa minimal dikurangi kebiasaannya berbohong. Namun, kata dia, manusia kerap tidak menyadari bahwa dimensi kemanusiaan yang sudah terlatih selama Ramadhan itu harus terimplementasi dalam kehidupan konkret atau sehari-hari, bukan hanya selama bulan puasa.

"Apa yang sudah berhasil dikendalikan selama bulan puasa, yakni hawa nafsu, semestinya, ya, harus terus dipertahankan. Bahkan, setelah usai bulan Ramadhan. Jangan hanya pada bulan Ramadhan, setelah itu kembali ke kebiasaan-kebiasaan buruknya," katanya.

Tafsir menilai manusia minimal harus mampu mempertahankan dimensi kejujuran yang sudah dilatih selama bulan puasa, apalagi dalam kondisi sekarang ini seiring banyaknya orang yang tidak jujur, seperti berbuat korupsi. Kejujuran, kata dia, semestinya perbuatan yang mudah dilakukan manusia karena tidak memerlukan modal, namun memang banyak yang masih susah untuk melakukannya.

"Ya, minimal dimensi kejujuran. Kalau sudah mampu baru naik dimensi yang lain, seperti bersedekah. Akan tetapi, sudah mampu jujur saja itu sudah sangat baik karena tidak mudah manusia untuk melakukannya," wantinya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement