Selasa 14 Jul 2015 22:32 WIB

Imam Besar Istiqlal: Idul Fitri Artinya Hari Raya Makan

Rep: c 38/ Red: Indah Wulandari
 Warga kota Riyadh melaksanakan shalat Idul Fitri di Masjid Jami, Riyadh, Arab Saudi, Ahad (19/8). (Fahad Shadeed/Reuters)
Warga kota Riyadh melaksanakan shalat Idul Fitri di Masjid Jami, Riyadh, Arab Saudi, Ahad (19/8). (Fahad Shadeed/Reuters)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Pekik takbir kemenangan akan kembali berkumandang. Ketupat, opor ayam ikut menjadi pelengkap yang dirindukan. Inilah Lebaran, satu perayaan selepas sebulan menjalankan puasa Ramadhan.

 

“Hari Raya Idul Fitri artinya hari raya makan. Karena pada hari itu, umat Islam tidak boleh berpuasa,” kata Imam Besar Masjid Istiqlal KH Ali Mustafa Yaqub kepada Republika, Selasa (14/7).

 

Kiai Ali Mustafa menilai, sebutan Idul Fitri sebagai hari raya kemenangan tidaklah tepat. Ia cenderung menyebut Idul Fitri sebagai hari raya makan. Pasalnya, kata Kiai Mustafa, tidak seorang pun bisa menjamin diri mereka telah menang melawan hawa nafsu. Ia menilai, adalah suatu bentuk kesombongan ketika orang menyatakan menang melawan hawa nafsu atau bersih dari dosa.

 

Imam Besar Masjid Istiqlal ini pun menyitir hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Aisyah bahwa al fithru yauma yufthiru al naasu. Idul Fitri adalah hari raya berbuka setelah sebulan berpuasa. Sehingga memaknai Idul Fitri sebagai hari berbuka, menurutnya, lebih tepat. Idul Fitri harus dimaknai sebagai akhir dari menjalankan kewajiban Ramadhan.    

 

Kiai Ali Mustafa menjelaskan, kalau manusia lulus menjalankan kewajiban, ia akan mendapat predikat orang yang bertakwa. Derajat ketakwaan ditandai lewat ketaatannya menjalankan ibadah-ibadah individual serta ibadah sosial. Tak hanya rajin shalat, puasa, haji, tetapi juga gemar sedekah dan berinfak.

 

“Tanda-tanda orang bertakwa telah disebutkan dua kali dalam Alquran, yaitu selalu berinfak. Selepas Lebaran, manusia itu tidak lagi egois, termasuk egoisme beribadah,” kata Ali Mustafa.

Egoisme beribadah yang ia maksud misalnya, berulang kali menunaikan ibadah haji tanpa memikirkan kesempatan Muslim lain.    

 

Ia menilai, ibadah Ramadhan masih sering dimaknai sebatas formalitas yang datang setiap tahun. Satu siklus tahunan yang datang secara rutin dan tidak membawa perubahan apa-apa. Karena itu, Kiai Ali Mustafa berharap, nilai-nilai Ramadhan dapat dilestarikan di luar bulan Ramadhan.

 

Menurut dia, hal itu sudah dicontohkan oleh Rasulullah. Beliau selalu menegakkan shalat malam sebelas rakaat di luar Ramadhan.

Infak dan sedekah Nabi Muhammad SAW juga tak pernah berhenti mengalir pada sebelas bulan lain. Tanpa adanya upaya mempertahankan ketaatan ini, Ramadhan hanya akan berhenti sekadar ritual tahunan.

 

“Teruskan tradisi Ramadhan, terapkan nilai-nilai Ramadhan pada bulan-bulan di luar Ramadhan. Umat Islam ini mayoritas bangsa. Kalau umat Islamnya betul, akan membawa dampak kepada kebaikan bangsa. Begitu pula sebaliknya,” kata Ali Mustafa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement