REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama As'ad Said Ali mengharapkan kemungkinan perbedaan dalam menentukan pelaksanaan Idul Fitri jangan dipertajam apalagi sampai menimbulkan konflik.
"Ini kan biasa, karena perbedaan itu termasuk yang diperbolehkan oleh agama," kata As'ad saat dihubungi Antara dari Jakarta, Selasa (14/6).
Ia mengatakan perbedaan penentuan pelaksanaan Idul Fitri bukanlah masalah akidah dan ini hanya masalah aplikasi dalam ibadah. "Ini bukan urusan akidah karena perbedaan cara yang diambil untuk menentukan awal puasa dan akhirnya, sehingga tidak apa-apa," ujar mantan wakil kepala BIN tersebut.
Menurut As'ad perbedaan penentuan awal bulan Syawal dalam sistem penanggalan Hijriah tersebut di Indonesia adalah sesuatu yang baik, karena menunjukkan dua sistem penentuan tanggal yang diatur oleh ajaran agama dipakai.
"Umat Islam umumnya memakai sistem Rukyat (penglihatan) atau Hisab (penghitungan), kedua sistem ini dipakai di Indonesia, ini bagus. Malahan di Saudi itu yang dipakai full Rukyat, jadi sudah bagus di sini," katanya.
As'ad mengatakan perbedaan-perbedaan semacam ini memang sudah terjadi sejak dulu, dan itu bukan sesuatu yang memalukan atau aib, karena hal tersebut memang diperbolehkan yang juga menunjukan keberagaman yang ada di Indonesia.
Untuk menyikapi perbedaan itu, PBNU mengharapkan masyarakat tenang dan jangan mempertajam perbedaan sehingga menimbulkan perasaan yang berujung pada konflik. "Kami harap masyarakat tenang, perbedaan tersebut jangan dipertajam, karena itu hal yang biasa dan tidak melanggar akidah sehingga tidak perlu dipermasalahkan," kata As'ad menambahkan.