REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ia menyimpulkan bahwa kala itu Bathoro Katong mengemban dua misi, yakni secara politik berupa penumpasan kekuasaan Ki Ageng Kutu dan kedua, mendirikan keraton baru yang bernapaskan Islam di bumi Wengker yang kemudian bernama Ponorogo.
"Karena itu sebetulnya sejarah Ponorogo merupakan 'percumbuan' yang belum selesai antara Islam dan kejawen yang diwakili oleh reog. Barangkali dari sejarah inilah mengapa di Ponorogo selalu melahirkan apa yang disebut budaya tanding di setiap wilayah, sampai saat ini," katanya.
Menurut dia, sejarah itu juga kemudian melahirkan dua pilar utama kehidupan masyarakat Ponorogo. Pertama, melahirkan sosio budaya Islam yang kental unsur Demak dan Mataram. Kedua, budaya lama warisan Ki Ageng Kutu lewat komunitas warok (tokoh reog) yang berkembang subur di daerah pinggiran," katanya.
Mengenai nama Ponorogo sendiri, tokoh yang biasa dipanggil Gus Fathur ini menjelaskan berasal dari kata pramono atau memahami yang berubah menjadi pono atau fana atau rusak, sedangkan rogo berarti jasmani atau jasad. Maka Ponorogo dimaknai sebagai orang yang sudah faham keadaan lahir batin.
Sementara mengenai banyaknya peziarah ke makam yang terletak di Kelurahan Setono, Kota Ponorogo, Gus Fathur mengatakan sangat wajar karena Bathoto Katong dinilai sebagai tokoh besar dalam penyebaran Islam di wilayah tersebut.
"Ziarah yang menjadi tradisi rutin di Ponorogo memiliki makna yang tidak hanya sarat arti spiritual, tapi juga sebagai bentuk menjaga budaya dan ajaran-ajaran leluhur. Dan yang paling utama dari ziarah itu adalah dzikrul maut atau mengingat mati," katanya.
Di kompleks makam yang bersebelahan dengan masjid dan sekolah itu, selain pusara Bathoro Katong, ada makam Ki Ageng Mirah (ulama atau sosok yang mengurusi masalah keagamaan), dan empat istri Bathoro Katong. Mereka adalah Niken Gandini dan tiga lainnya dari Madura, Demak dan Bagelen (Purworejo). Satu lagi tokoh penting yang bersama Bathoro Katong adalah patih Ki Selo Aji. Kompleks itu menempati areal seluas sekitar 4 hektare.
Sunardi, juru kunci Makam Bathoro Katong, menjelaskan bahwa rata-rata ada sekitar 700 sampai 1.000 orang setiap bulannya yang berziarah ke makam tersebut. Sementara saat menjelang puasa bisa sampai 500 orang setiap harinya.
Hari-hari lain, seperti saat garebek suro pengunjung bertambah ramai, termasuk saat peringatan hari jadi Kabupaten Ponorogo.
Budayawan asal Ponorogo Dr Sutejo mengemukakan bahwa banyak hal yang bisa didapat dari prosesi ziarah ke makam yang dianggap wali oleh masyarakat itu. Pertama, adalah berdzikir atau mengingat mati. Kedua, berharap berkah karena keunggulan si tokoh di masa hidupnya.
Demikian juga dengan tokoh Bathoro Katong yang sangat dihormati oleh masyarakat Ponorogo. Dengan banyaknya peziarah, hal itu menunjukkan bahwa si tokoh tetap memiliki energi atau "magnet" yang kuat, meskipun jasadnya telah tiada.
Bahkan dengan banyaknya pengunjung, masyarakat di sekitar lokasi juga mendapatkan berkah guna memenuhi keperluan para peziarah, seperti penjual makanan dan minuman, termasuk mereka yang mengelola parkir kendaraan.