REPUBLIKA.CO.ID,SAMBAS -- Kerajaan Sambas di Kalimantan Barat melahirkan beberapa sosok ulama pembaharu, Haji Moehammad Basioeni Imran atau HM Basiuni Imran yang merupakan Maharaja Imam di Kerajaan Sambas.
Ia diketahui pernah belajar langsung kepada dua orang ulama pembaharu terkemuka di dunia Islam, yaitu Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi dan Muhammad Rasyid Ridho. Peran HM Basiuni Imran memang tidak meluas hingga ke Nusantara.
Namun, apa yang ia lakukan telah berperan sangat penting dalam skala lokal di Kalimantan Barat, khususnya di wilayah Sambas.
Berkat semangat pembaharuannya, ia melakukan berbagai langkah memajukan pendidikan Islam madrasah di beberapa kawasan di Sambas dan memodernisasi Madrasah Al Sulthaniyah milik Kerajaan Sambas.
Haji Moehammad Basioeni Imran dilahirkan pada 4 November 1884 bertepatan dengan 25 Zulhijah 1302 Hijriah. Ia merupakan putra dari empat bersaudara dari ayah Hadji Imran Maharaja Imam bin Hadji Muhammad Arif.
Setelah ditinggal ibundanya Sa'mi saat masih sangat kecil, Basiuni Imran diasuh oleh ibu tirinya Badriyah. Di saat usianya enam tahun, ia banyak mendapatkan pendidikan Alquran dari ayahnya dan mengenyam pendidikan Sekolah Rakyat.
Hingga beberapa tahun selanjutnya dari pendidikan sang ayah inilah, HM Basiuni Imran mendapatkan ilmu agama Islam dasar, termasuk Nahwu dan Sharaf serta kitab Jurumiyah.
Selesai mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat selama dua tahun, ia melanjutkan pendidikan di sekolah Melayu Kerajaan Sambas, Madrasah al Sulthaniyah hingga pada 1898, ia memilih melanjutkan studinya ke Makkah.
Di Tanah Suci, sambil menunaikan ibadah haji, Basiuni Imran juga belajar Islam ke beberapa guru dan ulama baik dari Timur Tengah dan juga dari nusantara. Diantaranya Tuan Guru Umar Sumbawa, Tuan Guru Usman Serawak dan Syaikh Achmad Khatib Minangkabau.
Pada tahun 1328 Hijriah atau 1910 Masehi, bersama saudara kandungnya Achmad Fauzie H Imran disertai sahabatnya Achmad So’od berangkat ke Mesir untuk meningkatkan pendidikan agama Islam.
Selama di Mesir, HM Basiuni Imran menuntut ilmu di Universitas Al Azhar dan mendapatkan guru yang istimewa dalam mempelajari hukum-hukum Islam, Syeh Ali Surur Az Zaaqaluni seorang ulama besar Al Azhar di masa itu.
Pada 1342 Hijriah atau 1923, HM Basiuni Imran diminta pulang oleh orang tuanya ke Sambas. Sewaktu berada di tanah kelahirannya, HM Basiuni Imran selalu berkomunikasi menggunakan bahasa Arab dan sangat rajin membaca pengetahuan ilmu Islam.
Untuk meningkatkan pengetahuan Islamnya, HM Basiuni Imran berlangganan Majalah Almanar yang banyak mengupas tentang pengetahuan Islam serta membaca buku-buku berbahasa Arab dari Mesir secara mendalam.
Sepeninggal ayahnya, HM Basiuni Imran melaksanakan tugasnya sebagai ulama yang telah mempelajari ilmu Islam di Mekkah dan Mesir untuk disebarkan di Negeri Sambas.
Setelah sah menyandang gelar Maharaja Imam menggantikan ayahnya, H Imran Maharaja Imam, Sultan Tsafiuddin telah merencanakan untuk mendirikan sekolah modern agama Islam di Sambas. Atas titah Sultan, HM Basiuni Imran membuka sekolah Islam bagi masyarakat Negeri Sambas.
HM Basiuni Imran berinisiatif menggunakan rumah almarhum orangtuanya sebagai sarana pendidikan sementara bagi masyarakat yang ingin belajar agama.
Di sekolah sementara itulah HM Basiuni Imran mengajarkan bahasa Arab kepada murid-muridnya dan pendidikan agama Islam lainnya bersama H Abdurrakhman dan H Saleh Arif. sekembalinya adik kandungnya H Achmad Fauzi dari Mesir, HM Basiuni Imran mengangkat adiknya menjadi Kepala Sekolah Sulthaniyah.
HM Basiuni Imran yang memilih menjadi pengawas Sekolah Sulthaniyah, sehingga sekolah semakin maju dan berkembang. Tak berapa lama, Sekolah Sulthaniyah dipindahkan tidak jauh dari kantor Kesultanan Sambas.
Segala kebutuhan dan fasilitas sekolah diperoleh dari Sultan Muhammad Tsafiuddin II. Setelah wafatnya Sultan Muhammad Ali Tsafiuddin II, maka segala urusan dan kelanjutan pendidikan di sekolah tersebut diserahkan kepada HM Basiuni Imran.
Di tangannya, pendanaan kegiatan pendidikan di sekolah dapat berjalan secara mandiri dengan mengumpulkan dana dari uang nikah, cerai, talak, dan fitrah serta anggaran lain yang bisa menghidupkan sekolah.
Berkat semangat dan ketekunan yang dimiliki HM Basiuni Imran dalam mengelola administrasi sekolah, maka segala fasilitas dan kebutuhan pendidikan di sekolah tersebut berjalan lancar. Sehingga sekolah semakin maju, berkembang dan mendapat perhatian yang besar dari masyarakat Sambas.
Dari Sekolah Sulthaniyah inilah di awal awal masa perjuangan Indonesia, mampu memberikan prestasi karena murid-murid di sekolah tersebut rata-rata fasih berbahasa Arab. Banyak di antara mereka setelah lulus, meneruskan pendidikan di Yogyakarta, Jakarta dan Sumatera.
Majunya Sekolah Sulthaniyah memunculkan kekhawatiran Belanda. Sekolah tersebut dibubarkan oleh Belanda, karena waktu itu banyak anak-anak negeri yang akan belajar bahasa Belanda dan pengetahuan barat di Sekolah Misi Zending.
Setelah penjajah Belanda menutup Sekolah Sulthaniyah, HM Basiuni Imran Maharaja Imam Sambas bermusyawarah bersama pemuka Negeri Sambas seperti Dr Sahrial, Tuan Ali Imran guru HIS dan tokoh-tokoh lain, mencari alternatif terbaik baik bagi kelanjutan pendidikan ke depan.
Musyawarah bersama akhirnya memutuskan, Sekolah Sulthaniyah dijadikan Schakel School dengan pendidikan tetap bercorak agama Islam.
Schakel School (Sekolah Peralihan) merupakan sekolah lanjutan untuk sekolah desa dengan lama belajar lima tahun, dan menggunakan Bahasa Belanda dalam kegiatan belajar mengajar. Musyawarah juga menyepakati pembentukan sebuah perkumpulan yang diberi nama Tarbiyatul Islam, yang diketuai HM Basiuni Imran pada tahun 1936-1950.
Setelah Schakel School didirikan pada tanggal 1 Juli 1956, para pengajarnya merupakan tenaga pendidik ahli dan diploma pemerintah. Sistem pendidikan pun banyak mengalami perubahan dan kemajuan.