Ahad 07 Jun 2015 10:01 WIB

Aung San Suu Kyi, Mana Suaramu (Habis)

Pemimpin oposisi Myanmar, Aung San Suu Kyi.
Foto: Reuters
Pemimpin oposisi Myanmar, Aung San Suu Kyi.

REPUBLIKA.CO.ID, LANGSA -- Sikap tidak peduli Suu Kyi atas penderitaan etnis Rohingya, juga sangat disesalkan oleh Dalai Lama, pemimpin spiritual umat Buddha asal Tibet yang juga sama-sama penerima Hadiah Nobel Perdamaian.

"Ini sangat menyedihkan. Dalam masalah Burma (Myanmar), saya berharap Aung San Suu Kyi, sebagai pemenang Nobel, bisa melakukan sesuatu," kata Dalai Lama seperti yang dikutip harian The Australian beberapa waktu lalu.

Dalai Lama mengakui bahwa ia memahami posisi sulit Suu Kyi di Myanmar, dimana mereka yang menyatakan simpati terhadap kaum Muslim akan mendapat kecaman. "Tapi meski demikian, saya kira dia bisa melakukan sesuatu," katanya menanggapi sikap diam Suu Kyi.

Suu Kyi pun kemudian dinilai mulai memainkan politik praktis dengan mengabaikan nurani dengan untuk mengejar ambisi tertinggi di bidang politik, yaitu menjadi Presiden Myanmar.

Phil Robertson, Wakil Direktur Asian Human Rights Watch, menilai pemenang Nobel itu telah berubah menjadi sebuah kekecewaan besar karena gagal berada di garda depan untuk memperjuangkan hak azasi manusia.

Pada saat pemerintah Myanmar harus bertanggung jawab atas arus pengungsi Rohingya, di saat itu pula Suu Kyi gagal menggunakan "kekuatan moral" yang dimilikinya untuk membantu kaum minoritas tersebut.

Tapi, hanya beberapa bulan menjelang datangnya peluang terbesar dalam karir politiknya menghadapi pemilu, Suu Kyi pun menghadapi tekanan dari mayoritas pemeluk Buddha yang menganggap kaum minoritas Muslim Rohingya sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.

Memperjuangkan Rohingya bisa berarti Suu Kyi menghadapi risiko kalah dalam pemilihan dan itulah sebabnya berbicara soal Rohingya bukan menjadi pilihan baginya saat ini.

Nasib suku Rohingya, salah satu minoritas yang paling teraniaya di dunia, semakin memburuk sejak 2012 ketika terjadi kerusuhan berdarah yang menelan puluhan jiwa dan menyebabkan 140.000 orang harus hidup sengsara di kamp pengungsi.

Kekerasan tersebut memicu gelombang kerusuhan anti-Muslim di Myanmar dan muncul bersamaan dengan meningkatnya nasionalisme Buddha secara berlebihan yang menebar kebencian terhadap kaum minoritas.

Kelompok biksu garis keras menerjemahkan undang-undang dengan target kaum minoritas Muslim, termasuk rencana untuk memperkenalkan peraturan keluarga berencana dan pencabutan "kartu putih", identitas yang dimiliki oleh etnis Rohingya.

Liga Nasional Untuk Demokrasi, partai yang dipimpin Suu Kyi menyatakan bahwa mereka secara tegas menolak undang-undang soal agama yang kontroversial karena diskriminatif terhadap kaum wanita dan kelompok minoritas.

Pada 19 Mei 2015, Suu Kyi memang pernah berkomentar dengan mengatakan bahwa pemerintah Myanmar harus memecahkan masalah pengungsi Rohingya dalam sebuah pertemuan langsung dengan publik ketika 3.500 pengungsi mendarat di Thailand, Malaysia dan Indonesia.

Sebelumnya, Suu juga pernah mengungkapkan bahwa ia memang tidak berbicara mewakili Muslim Rohingya karena ia ingin mendorong rekonsiliasi antara kelompok Buddha yang mayoritas dengan kelompok Muslim.

"Tapi jangan lupa bahwa kekerasan tersebut dilakukan oleh kedua belah pihak. Itulah sebabnya mengapa saya memilih untuk tidak berpihak. Sudah tentu rekonsiliasi tidak bisa dilakukan jika saya memihak," katanya memberi alasan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement