REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Perbincangan mengenai agama-agama pra Islam barangkali akan menimbulkan kontroversi bagi sebagian kalangan.
Intelektual muslim Nahdlatul Ulama Dr. Sa'dullah Affandy mengakui, pandangannya melawan hal mainstream selama ini yang menganggap agama-agama selain Islam tidak sah.
"Kalau kita lihat sejarahnya, semua agama diturunkan dari Tuhan yang sama. Lalu, mengapa agama-agama yang lain dianggap tidak sah?" ujar Sa'adul dalam acara bedah bukunya Menyoal Status Agama-Agama Pra-Islam, Kamis (28/5).
Menurut doktor lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, pandangan tersebut lahir karena adanya klaim kebenaran. Mereka memandang hanya agama atau kelompoknya saja yang benar, sedangkan agama di luar kelompoknya salah.
Sa'adul mempersoalkan pandangan sebagian orang terhadap agama-agama pra Islam, khususnya Yahudi dan Kristen. Menurutnya, agama Yahudi, Kristen, dan Islam memiliki titik temu di millah (sesuatu yang dianut oleh seseorang) karena ketiganya merupakan millah Ibrahim.
Sa'adul menggunakan teori naskh (penghapusan hukum syara’) sebagai alat analisis penelitiannya. Ayat yang menjadi fokus kajian adalah Al Baqarah ayat 106 sebagai legitimasi naskh, dan Al Baqarah ayat 62, serta Ali Imran ayat 85.
"Al Baqarah ayat 62 menjamin orang-orang Yahudi, Nasrani dan Sabi'in akan mendapat pahala di sisi Allah selama dia beriman. Tapi, Ali Imran ayat 85 menyebutkan bahwa orang-orang yang memeluk agama selain Islam akan tertolak. Ini seolah bertentangan," urai Sa'dul.
Setelah melakukan penelitian, doktor UIN Jakarta ini kemudian menyimpulkan jika Al Baqarah ayat 62 tidak dapat dibatalkan dengan Ali Imran ayat 85. Ayat-ayat ini bukan ayat hukum, melainkan hanya ayat berita (ikhbariyyah).
"Ajaran yang diturunkan kepada Muhammad tidak mengabrogasi atau menganulir agama-agama sebelumnya. Jadi, Alquran itu diturunkan justru untuk membenarkan, mengukuhkan, dan melanjutkan agama-agama sebelumnya," ungkap Sa'dul.