Rabu 27 May 2015 11:01 WIB

Mushala di Puncak Bromo Harmonisasi Islam dan Hindu

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Indah Wulandari
Gunung Bromo
Foto: AP
Gunung Bromo

REPUBLIKA.CO.ID,PASURUAN -- Kedua tangannya tertangkup di depan dada. Kepada lima perempuan berkerudung di hadapannya, ia memberi penghormatan, om swastyastu disusul Assalamu'alaikum.

Lahir dari Suku Tengger, Bambang Hadiharwijaya adalah seorang penganut Hindu. Ia merupakan satu dari empat penjaga mushola yang dibangun Bank Syariah Mandiri (BSM) dan Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS) BSM di Kawasan Penanjakan, Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan Jawa Timur.

Bambang tak keberatan ada bangunan mushola  di ketinggian 2.680 meter di atas permukaan laut (dpl) atau lebih tinggi dari Gunung Bromo yang berelevasi 2.392 meter dpl.

Dukungan ia berikan atas berdirinya mushola seluas 81 meter persegi di atas tanah seluas 1.800 meter persegi yang dikelola oleh Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) itu.

''Tidak sedikit pengunjung yang bertanya adakah mushola saat berkunjung untuk melihat matahari terbit menyinari Bromo di Penanjakan,'' kata Bambang di sela-sela tugasnya, akhir pekan lalu.

Sekitar setahun lalu, sebelum menjadi penjaga mushola, Bambang diajak bekerja dalam proses pembangunan mushola selama satu setengah bulan saja.

''Astungkara (syukur), bagi saya setahun ini sudah betah dengan segala suka dukanya. Tapi saya tak tahu apakah tenaga saya akan kembali digunakan atau tidak selanjutnya,'' ungkap Bambang yang sebelumnya bekerja sebagai pemandu wisata dan tukang ojek.

Tak ada pula pergulatan batin dirasakan tokoh masyarakat Hindu Desa Wonokitri Edel saat pihak LAZNAS BSM menyampaikan maksud mereka mendirikan mushola di puncak gunung desa itu. Baginya, semua umat beragama memang perlu difasilitasi untuk bisa beribadah.

Yang terpenting, kata Edel, adalah memberi pengertian kepada warga. Meski 85 persen warga Desa Wonokitri adalah penganut Hindu, keberagamaan dan toleransi sama-sama dijaga.

Kerbersamaan juga terasa dalam acara-acara adat seperti Yadnya Kasodo atau hari raya adat Suku Tengger. ''Di acara itu, setiap orang berdoa dengan keyakinannya sendiri,'' kata Edel.

Berkomitmen, begitulah penilaian tokoh masyarakat Islam Desa Wonokitri Heri Nurdi terhadap Bambang. Sejak awal, tugas Bambang hanya membersihkan halaman dan merawat tanaman.

Ia sudah menjelaskan pada Bambang mengenai keharusan memasuki mushola dalam keadaan suci dari hadas besar dan kecil. Sepakat, Bambang pun komitmen dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya.

Menurut Heri, masyarakat tidak mempermasalahkan adanya mushola ini. Sebab, lokasinya relatif jauh dari perkampungan warga Desa Wonokitri dan tidak menganggu aktivitas, apalagi mushola dibutuhkan pengunjung Muslim.

''Kami punya beban saat pengunjung Muslim yang datang harus shalat Subuh, tapi tidak disediakan tempat layak sehingga shalat Subuh-nya terlewat,'' kata Heri.

Pendekatan kepada masyarakat melalui para tokoh, termasuk tokoh pemuda Hindu, kata Direktur LAZNAS BSM Kiagus Muhammad Tohir pastilah dilakukan.

Pendekatannya memang cukup lama dan resistensi sempat muncul di awal, tapi itu berkurang seiring waktu. Tim BSM dan LAZNAS menjelaskan nilai Islam yang universal yang diusung BSM.

Untuk menunjukkannya, mereka melibatkan masyarakat Hindu dan Muslim juga dilibatkan sejak pembangunan meski sudah menggunakan jasa kontraktor.

Visualisasi lain untuk menunjukkan toleransi Islam dengan Hindu, adalah dengan meminta tempat sesaji didirikan di luar dekat gerbang masjid agar ada kedekatan antara penganut Hindu dengan Muslim.

''Pun bangunan gerbang yang meniru Candi Singasari untuk memperkuat gabungan budaya lokal dengan Islam,'' kata Tohir.

Kedekatan dengan para tokoh agama dan tokoh pemuda tetap dijaga hingga saat ini melalui kegiatan sosial seperti pemberian beasiswa berlanjut bagi anak-anak Tengger, bantuan alat semprot hama bagi para petani, dan pemberian 100 mushaf Alquran untuk 10 masjid di Kecamatan Tosari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement