Kamis 21 May 2015 20:31 WIB

Ketua PBNU: Sikap Myanmar Perlu Dipertanyakan

Lebih dari 1.350 pengungsi Rohingya telah diselamatkan oleh nelayan Aceh dalam beberapa hari terakhir.
Foto: Reuters
Lebih dari 1.350 pengungsi Rohingya telah diselamatkan oleh nelayan Aceh dalam beberapa hari terakhir.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua PBNU, KH. Slamet Effendy Yusuf mengungkapkan, sulit bagi etnis Rohingya untuk menemukan alternatif penyelesaian tanpa adanya perubahan aturan perundang-undangan di Myanmar. Masalah ini juga berkaitan dengan sikap diam pemerintah militer Myanmar terhadap aksi kelompok Buddha ekstrim.

"Rohingya adalah masalah yang sangat pelik. Mereka state-less, padahal mereka bukan warga baru di wilayah yang kita sebut Burma itu. Status tanpa kewarganegaraan itu berimplikasi pada undang-undang lain, termasuk hak pendidikan, kesehatan, sosial, dan sebagainya," ujar KH. Slamet Effendy Yusuf, Kamis (21/5) di kantor Dewan Dakwah Muhammadiyah.

Krisis kemanusiaan Rohingya dimulai sejak amandemen UU Kewarganegaraan 1982. UU Kewarganegaraan Myanmar mendasarkan dirinya pada etnisitas, di mana etnis Rohingya tidak diakui sebagai salah satu warga negara. Tidak adanya pengakuan kewarganegaraan ini berpengaruh pada hak-hak dasar mereka dalam berbagai aspek.

KH. Slamet Effendy menambahkan, sebenarnya ini sama dengan UU Kewarganegaraan Indonesia sebelum amandemen tahun 2006, yang mengenal istilah orang Indonesia asli dan non asli. Hanya saja, Indonesia tidak menyebut suku satu persatu. Sekarang, dalam UU Kewarganegaraan, istilah orang Indonesia asli sudah diberi penjelasan.

Lebih lanjut ia mempertanyakan, sebenarnya siapa biang kerok di balik krisis ini. "Apakah biksu Wirathu yang dikenal sangat rasialis atau ada pihak lain? Ada sebuah pertanyaan besar yang harus kita jawab. Mengapa biksu yang harusnya mengajarkan cinta kasih, justru dibiarkan mengobarkan kemarahan dan penindasan," ujar KH. Slamet Effendy.

Menurutnya, ini menunjukkan adanya hubungan erat antara rezim militer di sana dengan kelompok Buddha yang dipimpin oleh Wirathu. Kelompok ekstrim Buddha telah melakukan penghancuran aset-aset dan mengusir etnis Rohingya. Kejahatan kemanusiaan semacam ini, seharusnya dapat dipidanakan dan dibawa ke tingkat internasional.

"Jadi, kalau kita mau bicara secara mendasar tentang masalah ini, persoalannya bukan hanya pada fundamentalisme Buddha. Tapi, juga menyadarkan pemerintah Myanmar bahwa ada kelompok yang ingin mengobarkan kebencian di sana dan itu tidak bisa dibiarkan," tandas Effendy. (C 38)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement