REPUBLIKA.CO.ID, Agama, bagi kebanyakan umat manusia adalah sesuatu yang absurd, dan transendental. Beberapa sisinya, mengandung aspek yang di luar batas kemampuan nalar manusia. Beragama dan berkeyakinan, merupakan kebutuhan tak terelakkan sepanjang sejarah perjalanan Anak Adam. Ini pula yang mendorong, beragam upaya untuk mendefinisikan agama.
Salah satunya, ialah cendekiawan Muslim asal Bogor, Jawa Barat yaitu Prof Syed Muhammad Naquib al–Attas. Dia menyatakan definisi agama dalam Islam diambil dari kata din. Asal katanya dayana. Kata ini bisa berubah menjadi dayn yang berarti utang.
Arti agama yang pertama adalah utang. Penegasan ini dia sampaikan dalam bukunya, yang berjudul Prolegomena to The Metaphysic of Islam, al- Attas menjelaskan manusia berutang atau da'in kepada Allah SWT, karena telah dianugerahi kehidupan.
Beragama tentu memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan atau daynunah. Kata dayana juga berubah menjadi idanah yang berarti keyakinan yang merupakan ruh dari kewajiban. Orang yang menjalankan kewajiban harus disertai dengan dorongan keyakinan yang kuat.
Orang beragama atau berutang berkumpul dalam masyarakat terorganisir. Mereka menempati desa atau kota atau madinah, dalam bahasa Arab. Kota memiliki pengatur atau disebut pemerintah, disebut juga dayyan.
Kata dayana juga bisa berubah menjadi maddana yang berarti membangun atau menemukan kota, membuat menjadi beradab, memperbaiki, dan memperlakukan dengan manusiawi. Bisa juga berubah menjadi tamaddun yang berarti peradaban.
Al-Attas mengambil definisi itu dari pakar leksikologi Arab, penulis kamus Arab fenomenal yang berjudul Lisan al-Arab, yakni Ibnu Manzur. Mantan Rektor ISTAC-IIUM Malaysia itu, kemudian menjelaskan beragama menunjukkan kehidupan beradab.
Masyarakat di dalamnya hidup dengan hukum yang berkeadilan. Di sini agama menunjukkan kebiasaan manusia yang berkecenderungan untuk bersosial dan mematuhi peraturan serta memiliki pengatur atau pemimpin.
Dia kemudian menyimpulkan beragama sama dengan mengabdi, merendahkan diri, dan menghamba kepada Allah SWT. Obyek pengabdian bukanlah sesuatu, bukan pula seseorang yang temporal. Dia haruslah yang Mahamenguasai, yang Mahatinggi, dan Mahamulia. Dalam makna agama juga terkandung hukum, tatanan kehidupan, dan pemerintahan, yang menjadi inspirasi manusia untuk berakhlak mulia.